Senin, 21 Maret 2011

Antara Orde dan Order: Sensor dan Representasi Kekuasaan dalam Sinema Indonesia


Abstrak

Sensor selama ini merupakan faktor yang krusial dalam sinema Indonesia. Kehadirannya tidak saja mengontrol implikasi moral suatu film, tapi juga mempengaruhi perkembangan estetika dan naratif film Indonesia. Sejarah mencatat permainan kekuasaan dan kebutuhan pemerintah telah menjadi faktor yang menentukan penerapan sensor dalam setiap rezim kekuasaan. Artikel ini bertujuan memetakan kronologi perubahan peran sensor dalam sejarah sinema Indonesia, sekaligus menjadi bahan refleksi untuk ke depannya.

Catatan Awal

Pada tahun 2006 lalu, Badan Sensor Film melarang film Timor Loro Sae, Tales of Crocodiles dan Passabe diputar di Jakarta International Film Festival. Alasannya sederhana: film-film tersebut hanya akan membuka luka lama antara Indonesia dan Timor Leste. Tidak jauh waktunya dari peristiwa itu, beberapa elemen masyarakat sipil menuntut dicabutnya izin pemutaran film Buruan Cium Gue (2005) karena dinilai bertolak belakang dengan norma-norma yang ada. Belakangan, produksi film Lastri yang sedang berlangsung dihentikan oleh sekelompok warga yang beranggapan bahwa Lastri mengandung propaganda komunis. Kejadian ini hanya semakin mempertegas posisi sensor dalam bongkahan batu es yang selama ini kita sebut perfilman Indonesia. Seluruh kelemahan estetika film Indonesia tak jarang dialamatkan ke sensor, begitu pula dengan absennya kritik sosial yang tajam dalam film-film Indonesia, tapi sampai sekarang sedikit sekali informasi perihal sensor yang dapat diakses khalayak luas.

Alih-alih terjebak dalam perdebatan mengenai apakah sensor menghalangi kreativitas atau pergantian sistem, isu yang perlu ditelaah terlebih dahulu adalah bagaimana sensor ditempatkan secara berbeda sesuai dengan konteks zamannya. Sensor patut dipahami dalam perspektif historis, karena relasi antara sensor dan film sebagai produk budaya mencerminkan pola relasi kuasa yang ada di masyarakat. Untuk kasus Indonesia, perlakuan negara terhadap sensor menjadi representasi kekuasaan sekaligus wujud pendisiplinan negara terhadap produk budaya populernya, mulai dari produksinya hingga distribusinya. Hal ini pun akhirnya mempengaruhi posisi sineas sebagai pelaku budaya. Karya mereka dipertaruhkan tidak hanya berdasarkan nilai estetisnya, tetapi juga kontribusi dan konsekuensi-konsekuensi politisnya. Di antara karya sineas dan penontonnya, ada sensor yang dari waktu ke waktu berperan melindungi representasi otoritas dan memberi bentuk terhadap estetika film Indonesia

Representasi Penguasa, Sensor dan Propaganda

Moralitas adalah kata pertama yang terlintas ketika membicarakan sensor. Jika bukan karena permasalahan politik, maka yang kita curigai ketika sebuah film disensor adalah kandungan adegan seks atau kekerasannya bertentangan dengan moralitas bangsa. Tak pelak inilah kekhawatiran pertama pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Setelah pemutaran film perdana di tahun 1895, film menyebar ke berbagai belahan dunia hanya dalam kurun waktu beberapa tahun. Konsekuensinya: orang-orang Eropa jadi khawatir akan citra diri mereka di hadapan negeri jajahannya. Kongres Sinematografi di Paris pada tahun 1926 membahas dampak buruk film bagi moral penduduk negeri-negeri jajahan (Sen, 1994: 14), dan mulailah pemerintah kolonial Hindia-Belanda mengeluarkan peraturan sensor ketat terhadap film-film Amerika yang masuk ke Indonesia. Akan tetapi, beriringan dengan maraknya produksi lokal, film-film yang ada di bioskop cenderung dikonsumsi oleh etnis tertentu. Film-film legenda Tionghoa mayoritas hanya ditonton oleh kelompok Tionghoa di bioskop-bioskop pecinan, dan film-film cerita silat yang diadaptasi dari mitos-mitos kedaerahan umumnya ditonton oleh bumiputera.

Persoalan representasi moral Eropa sebetulnya bukanlah hal yang menakutkan karena segmentasi yang jelas seperti di atas. Terlebih lagi jika melihat komposisi penonton pribumi yang menghadiri pemutaran film-film Eropa dan Amerika kebanyakan adalah kelas elit terdidik, yang jelas pikirannya lebih terbuka. Masalahnya, demi terjaganya keberadaan mereka di Indonesia, pemerintah kolonial semakin waspada dengan pergolakan politik di Indonesia, terutama ketika musim semi pergerakan nasional sepanjang dekade 1920-30-an, Pemerintah kolonial tidak saja menyensor, mereka pun berperan aktif lewat produksi film-film propaganda lewat ANIF (Algemeene Nederlandsh-Indisch), perusahan film Hindia-Belanda yang didirikan pada tahun 1935. Salah satu produknya adalah film dokumenter Tanah Sebrang, yang dirilis pada tahun 1936 untuk meyakinkan masyarakat Jawa agar mengikuti program transmigrasi ke Sumatra.

Kondisi-kondisi di atas hanya sedikit berubah paska 1945. Sensor dan propaganda terus berlangsung melalui lembaga sensor dan perusahaan-perusahaan film bentukan negara. Tema revolusi fisik marak akibat euforia kemerdekaan. Tercatat film-film seperti Darah dan Doa dan Enam Jam di Jogja mengetengahkan peran militer dalam upaya-upaya mempertahankan republik. Diskursus yang berlaku adalah nasionalisme dan bagaimana membangun kembali Indonesia setelah revolusi selesai. Maka selain perjuangan fisik, kisah-kisah tentang eks pejuang yang harus kembali ke masyarakat pun mengisi layar-layar perak.

Euforia kemerdekaan, tema perang, dan permasalahan film impor menyebabkan citra nasionalisme Indonesia menjadi xenofobik dan agresif. Ancaman selalu diandaikan datang dari luar. Citra tersebut kian dipertegas oleh sensor yang cenderung menutupi persoalan-persoalan sosial yang dirasakannya sensitif seperti ketimpangan kelas, sesuatu yang sudah ada dan akan tetap ada tanpa pihak luar sekalipun. Bahkan LEKRA, yang menuntut diperketatnya impor film dari Eropa Barat dan Amerika Serikat demi perkembangan film nasional, juga terjebak pada retorika sempit anti-imperialisme budaya. Namun barangkali hal ini tidak bisa dihindari karena retorika anti-asing mau tidak mau adalah retorika yang paling mudah dipakai dan sangat berkaitan langsung dengan pengalaman yang belum terlalu lama terjadi.

Bagi beberapa kelompok masyarakat, pengangkatan tema-tema nasionalisme tidak selamanya dipandang positif. Film Darah dan Doa, yang mengisahkan long march pasukan Siliwangi, diprotes oleh divisi regional militer lain, karena terlalu menonjolkan peran divisi Siliwangi dalam upaya mempertahankan republik. Padahal sebelumnya, film ini sengaja mengambil bentuk fiksi agar tidak menyinggung perasaan divisi lainnya (Sen, 1994: 23). Selain itu dukungan dana dan keamanan dari penguasa militer lokal menjadi faktor penting yang harus diperhitungkan. Film Darah dan Doa sendiri didukung oleh divisi Siliwangi. Film Turang, yang mengetengahkan peran rakyat Sumatra Utara dalam aksi-aksi perlawanan terhadap Belanda, didukung sepenuhnya oleh salah satu petinggi militer Sumatra Utara yang pada saat itu sedang berusaha menyingkirkan saingannya yang berpartisipasi dalam gerakan PRRI/Permesta (Sen, 1992:43). Dengan kata lain, isu nasionalisme selain menjadi tema yang laris, juga berperan sebagai lahan untuk mencari afiliasi politik strategis.

Pada era demokrasi liberal, yakni dari tahun 1950 sampai 1959, film semakin kukuh posisinya sebagai perpanjangan dari fenomena yang yang terjadi di lanskap politik. Film-film bertema perjuangan dapat berperan sebagai modal legitimasi partai di hadapan konstituen pemilih maupun negara. Nyaris seluruh partai dari sayap kiri maupun kanan mengangkat tema serupa dengan pendekatan yang berbeda. Sen (1994) membandingkan dua sutradara dari afiliasi politik yang berbeda, Usmar Ismail dari Lesbumi (organ kebudayaan Partai Masyumi) dan Bachtiar Siagian dari Lekra (yang berafiliasi dengan PKI). Usmar yang liberal memiliki permusuhan dengan politik massa yang dilancarkan Sukarno. Antagonisme politik tersebut tercermin dalam film-filmnya yang senantiasa sinis terhadap karakter-karakter elit, seperti intelektual dan seniman. Sementara Bachtiar selalu menarik tragedi yang dialami tokoh utamanya ke persoalan sosial yang lebih luas seperti ketimpangan kelas, gender, dan sebagainya. Penderitaan karakter-karakter Usmar bersifat eksistensial, sementara pada Bachtiar penderitaan itu bersifat sosial. Karakter Usmar mengakhiri hidup dengan tragis, karakter Bachtiar menebus penderitaannya dengan aksi politik kolektif (Sen, 1994: 48-9).

Perbandingan antara Usmar Ismail dan Bachtiar Siagian hanyalah sekelumit dari fenomena yang mengemuka sepanjang periode demokrasi liberal. Terjadi usaha pergolakan wacana perihal nasionalisme antara dua pihak: pemerintah dan sineas. Pemerintah, yang sedang menjalankan proyek-proyek rekonstruksi paska perang, tidak selalu mewakili pihak yang netral yang senantiasa melindungi masyarakat. Konsekuensinya: pemerintah lebih memilih film-film yang dianggap tidak berbahaya atau tidak mengancam persatuan untuk ditampilkan ke publik. Tentu saja dalam hal ini, Usmar Ismail kurang berbahaya dibandingkan Bachtiar Siagian. Logika sederhana sensor sebetulnya, namun tidak sesederhana tatkala menyangkut afiliasi politik sineas yang juga duduk sebagai perwakilan di badan sensor. Selama belasan tahun sensor dikuasai oleh orang-orang Masyumi. Baru pada tahun 1963, PKI berhasil masuk dan menggeser dominasi Masyumi dalam badan sensor (Sen, 1994: 48).

Orde Baru dan Ambiguitas Kritik Sosial

Ketika menggarap tema-tema perang dan pasca-kemerdekaan, sineas berperan sebagai agen sejarah yang partisipasinya diukur dari kemampuannya mempengaruhi massa. Peran sineas tersebut yang hilang di era Orde Baru dan setelahnya. Segera setelah peristiwa pemberantasan PKI pada tahun 1965, terjadi pembersihan terhadap film, pekerja film, dan organisasi-organisasi film yang dicurigai berafiliasi dengan PKI. Sejak itu perhatian pemerintah adalah bagaimana menggeser film ke wilayah yang lebih tidak berbahaya, yakni budaya. Jika dahulu ekspresi politik diperbolehkan asal tidak bertentangan dengan wacana negara, maka sekarang ekspresi politik menjadi barang haram dalam sinema Indonesia.

Pengharaman ekspresi politik dalam sinema semakin dipertegas ketika Badan Sensor Film (BSF) mengeluarkan Kode Etik film Indonesia pada tahun 1981. Dengan mengatur apa saja yang boleh muncul dalam film, Kode Etik melindungi sebuah film dari sensor dan pelarangan tanpa sebab yang jelas. Konsekuensi negatifnya: sineas jadi terbatas ekspresinya. Poin yang paling umum dan nyaris tidak pernah berubah adalah perihal adegan seks. Penggambaran bendera negara sosialis dan pertentangan kelas sudah tentu dilarang. Begitu juga halnya dengan penggambaran konflik antar-agama dan kekalahan aparat hukum di hadapan pelaku kriminal. Film dikandangkan dalam wacana kebudayaan semata, dan peran sineas bergeser dari agen sejarah ke pekerja budaya semata. Mereka yang ingin merekam dan mengkritisi kondisi sosial harus marus melakukannya di tengah kebatasan ekspresi yang ada. Tak heran jika kritik sosial dalam film-film Indonesia di era Orde baru sangat ambigu dan moralis.

Wacana yang ingin dibangun pemerintah saat itu adalah pembangunan. Agar pembangunan dapat terlaksana, diperlukan kondisi politik yang stabil. Demi stabilitas tersebut, pemerintah Orde Baru seakan-akan berusaha menulis ulang kembali sinema Indonesia: tidak pernah ada pertentangan antar kelas dan pertikaian saudara. Sinema hanya diijinkan menampilkan keluarga harmonis, kota yang dinamis nan keras, dan sejarah yang secara sadar memprioritaskan heroisme karakter utamanya. Ketiga tema tersebut menjadi tren sepanjang dekade 1970-an sampai awal 1990-an. Tema kota umumnya berkisar pada penggambaran kehidupan perantau di tengah jakarta yang tengah membangun. Momen-momen kritik sosialnya ada pada banyak shot-shot gedung tinggi yang dikontraskan dengan pemukiman kumuh atau kampung di pinggiran kota. Karakter perantau biasanya digambarkan jujur, polos, dan bersemangat. Seiring dengan pergulatannya di kota, ia mengalami bermacam-macam kemalangan, dekat dengan warga kota lainnya yang berasal dari kelas bawah, dan berteman dengan pelacur. Di akhir cerita biasanya ia sukses jika bersungguh-sungguh kerja, atau justru mengalami nasib tragis. Pola-pola struktur naratif seperti ini dapat dijumpai di Jakarta Jakarta (1978), dan hampir di setiap film-film Rhoma Irama. Tipikal karakter dengan sedikit perubahan ada di film Si Doel Anak Betawi (1973). Karakter antagonis biasanya adalah anak-anak kota yang nyaris pada umumnya digambarkan kaya, kebarat-baratan, sombong, berperilaku amoral yang di akhir cerita biasanya dikalahkan oleh ketulusan hati sang perantau atau si miskin.

Tema kedua, yakni sejarah, tidak jauh berbeda dengan film-film sejarah pra-1965. Hanya saja kini terdapat tiga modus penceritaan yang dapat dikenali, seperti penekanan heroisme tokoh utama dalam perang kemerdekaan (Janur Kuning dan Pengkhianatan G-30-S/PKI), situasi perang yang tiba-tiba berubah layaknya film action (Kami Kembali), dan pembungkusan konflik-konflik kedaerahan dengan narasi negara nasional (November 1828). Modus kedua memiliki fungsi dan logika yang serupa film kehidupan urban di atas, yakni membungkus fenomena serius sebagai kisah yang sensual, romantik, dan formulaik. Modus pertama biasanya ditemukan dalam film-film produksi PFN (Perusahaan Film Negara). Antara tahun 1965 hingga dirilisnya Pengkhianatan G-30-S/PKI (1984) belum ada film sejarah yang memiliki proporsi epik. Namun sejak Pengkhianatan mulai diproduksi dan dirilis, muncul kebijakan tidak ada film-film bertema sejarah nasional yang boleh diproduksi tanpa pengawasan ketat negara (Sen, 1994: 82). Mengenai kebutuhan menampilkan tokoh sentral yang heroik tentu saja terkait dengan strategi negara menjadikan karakter-karakter utama di sebuah film sebagai monumen historis dan propaganda, khususnya film-film yang menampilkan figur Suharto.

Modus ketiga berkenaan langsung dengan rekonstruksi sejarah bangsa. Di film November 1828 misalnya, penggambaran ‘bangsa yang sudah utuh sejak dahulu’ seakan-akan sudah ada sejak Perang Diponegoro. Tipikal film-film serupa adalah penggambaran Belanda sebagai karakter yang bengis dan sengaja memecah-mecah masyarakat nusantara, bahkan sebelum konsep ‘Indonesia’ sendiri ada (Sen, 1994: 87). Tentu saja ini merupakan strategi lain untuk menampilkan bangsa Indonesia sebagai satu keluarga besar yang utuh. Kasus yang menarik terjadi pada rencana pembuatan film Perang Padri yang gagal diproduksi. Film ini tidak pernah diproduksi karena skrenarionya ditolak oleh departemen-departemen pemerintah. Alasannya: Perang Padri menunjukan perpecahan antara kaum Padri yang puritan dan kaum Adat yang sempat bekerjasama dengan Belanda (Sen, 1994: 81).

Sensor sendiri semakin tertutup. Perubahan sempat terjadi di tahun 1973, ketika BSF berkomitmen untuk menjadikan sensor film sebagai wilayah kerja yang terbuka dan mengundang masyarakat untuk berpartisipasi sebagaimana pada masa demokrasi liberal dahulu. Namun seiring dengan semakin bertambahnya perwakilan pemerintah dan militer di BSF, cara-cara kerja dan mekanisme sensor BSF kembali tertutup dan rahasia. Tertutupnya jendela publik untuk mengakses mekanisme sensor terjadi bersamaan dengan pengesahan kebijakan impor film yang keuntungannya disalurkan ke produksi film nasional. Dari tiga film luar yang diimpor, harus diproduksi tiga film nasional. Konsekuensinya: di pertengahan tahun 1980-an hingga awal 1990-an, terjadi overproduksi film Indonesia yang kebanyakan bertema seks. Selama tidak menampilkan adegan-adegan yang secara politis subversif, film-film tersebut dibiarkan oleh badan sensor.

Digital dan Alternatif

Jika menilik dua periode besar sebelumnya, yakni antara 1945-1965 dan 1965-1990-an, maka sinema Indonesia paska 1998 ditandai oleh distribusi teknologi film digital, dan maraknya ruang-ruang alternatif untuk eksebisi seperti festival film internasional yang diadakan di kota-kota besar. Periode yang belum selesai ini pun ditandai oleh boom film Indonesia, terutama setelah film Petualangan Sherina (1999). Sementara itu BSF masih bertahan dengan aturan sensor yang sama. Penulis tidak akan membahas lagi sensor karena cara kerja dan standar-standar yang diberlakukan masih sama, dan menghasilkan film-film genre yang mayoritas persis seperti di tahun 1970-80-an. Fenomena yang menarik untuk dilihat pada periode ini adalah bagaimana teknologi digital, dan kemunculan ruang-ruang alternatif mendorong sineas untuk bekerja di luar sistem yang ada, baik sensor maupun monopoli jaringan bioskop.

Sejumlah sineas kini tidak lagi membidik bioskop besar. Banyaknya pemutaran film dan diskusi keliling di kampus-kampus menandakan kebaruan modus eksebisi film. Ciri lain adalah tuntutan cara ucap baru yang tidak ditemukan dalam film-film yang diputar di bioskop-bioskop besar. Para sineas masa kini, karena dua faktor di atas, lebih leluasa mengeksplorasi tema dan bentuk filmnya. Alhasil, sangat banyak yang bisa dikatakan lewat film, dari kehidupan personal maupun kritik sosial, atau kedua-duanya. Film bermuatan kritik sosial yang lugas dirilis dalam beberapa tahun belakangan ini tanpa perantara jaringan 21, yakni Babi Buta yang Ingin Terbang (Edwin, 2009) dan Jermal (Ravi Bharwani, 2009). Film pertama mengisahkan bagaimana perasaan menjadi Cina di Indonesia, sementara film kedua tentang kehidupan anak-anak remaja di jermal. Keduanya mengambil tema kecil dan sehari-hari yang jarang diangkat dalam film panjang. Terutama pada Babi Buta, yang disodorkan adalah gambaran yang sinis dan bernada protes. Selain karena adegan seks homoseksual yang eksplisit, isu film ini pun sangat sensitif dan pastinya tidak akan lolos dari gunting sensor jika masuk ke bioskop besar.

Jika film-film Orde Baru melestarikan konsensus, maka sebagaimana Babi Buta, film-film alternatif kini menawarkan estetika disensus, dan politik yang nyaris tidak berjarak dari kehidupan personal. Film-film tersebut mencoba mempertanyakan ulang segala macam hal yang disebut ‘identitas Indonesia’. Festival-festival, bioskop-bioskop serta perpustakaan film alternatif juga rutin dikunjungi publik yang mau mengakses lebih banyak pilihan film. Melalui ruang-ruang tersebut, proses pendidikan penonton yang selama ini terlupakan dapat bergerak lagi. Banyak yang dapat dikatakan soal fenomena ini, tapi fenomena tersebut barulah awal dari suatu fase baru dalam perfilman Indonesia. Persoalan pertama yang terjadi di sini barangkali adalah bagaimana memperluas akses film-film tersebut. Jika tidak, mereka akan tenggelam atau sekadar berputar di lingkaran (elit) sirkuit festival saja. Beberapa bioskop independen, di luar tuntutan yang dibuat MFI, berupaya megadakan pemutaran dengan sistem klasifikasinya sendiri dan menerapkannya ke penonton. Namun proses ini masih harus diuji sesuai dengan kondisi sosial yang berlaku. Semakin banyaknya alternatif, tanggung jawab ke penonton tetap bukanlah sesuatu yang tentatif.

Adrian Jonathan Pasaribu




Referensi:
Sen, Krishna. Indonesian Cinema, Zed Books, London, 1994. Share