Senin, 21 Maret 2011

Bioskop Dalam Sejarah Perfilman Indonesia

Pengantar

PERTUNJUKAN film pertama di dunia untuk umum yang membayar (paying audiences) berlangsung di Grand Cafe, Boulevard des Capucines, Paris, Perancis, pada 28 Desember 1895. Pelopornya adalah bersaudara Lumiere, Louis (1864-1948) dan abangnya, Augustue (1862-1954). Peristiwa itu sekaligus menandai lahirnya film di muka bumi ini, seni paling muda, yang sejak 1916 diberi gelar “seni ketujuh”.
Usaha membuat “citra bergerak” (moving images) telah dimulai jauh sebelum 1895, bahkan sejak abad kedua, tahun 130 Masehi. Diantara pelopornya terdapat Thomas Alva Edison (1847-1931), yang mengadakan bioskop pertama di New York, Amerika, pada 23 April 1896, kalah cepat dibanding Lumiere bersaudara. Dan walaupun Max dan Emil Skladanowsky muncul lebih dulu, di Berlin pada 1 November 1895, namun yang diakui secara internasional tetaplah pertunjukan Louis dan Auguste Lumiere.
Lumiere kemudian menyebarkan karyanya ke berbagai negara. Di London, Inggris, bulan Februari 1896. Di St. Petersburg, Uni Sovyet, bulan Mei 1896. Di Jepang pada 1896-1897. Di Korea pada 1903. Di italia pada 1905. Indonesia (Hindia Belanda, Nederlandsch Indie) sendiri tidaklah ketinggalan dalam memperkenalkan “gambar idoep”, karena pertunjukan film pertama terselenggara di Batavia (Jakarta) pada 5 Desember 1900, lima tahun sesudah bioskop pertama dunia di Paris itu memulai pertunjukannya.

Lima Tahun Pertama

Iklan Suratkabar “Bintang Betawi” 30 November 1900 berbunyi : “De Nederlandsch Bioscope Maatschappij (Matschappij Gambar Idoep) memberi taoe bahoewa lagi sedikit hari ija nanti kasi lihat tontonan amat bagoes jaitoe gambar-gambar idoep dari banjak hal jang belon lama telah kedjadian di Europa dan di Afrika Selatan. Ini tontonan nanti dikasih lihat didalem roemah disebelahnja Fabriek Kereta dari Maatschappij Fuchs di Tanah Abang. Hari moelainja tontonan ini nanti dikasih taoe dilain tempo”.
Kemudian dalam iklan 4 Desember tertera: “Besok hari Rebo 5 Desember PERTOENDJOEKAN BESAR JANG PERTAMA didalam satoe roemah di Tanah Abang, Kebondjae (Menage) moelain poekoel TOEDJOE malem. HARGA TEMPAT Klas satoe f 2 Klas Doewa f 1 Klas tiga f 0,50.” Yang dipertunjukkan adalah film dokumenter, tentang masuknya Sribaginda Maharatu Olanda bersama Hertog Hendrik ke kota den Haag.
Harga masuk ketika itu masih cukup tinggi. Maka untuk merangsang datangnya lebih banyak pengunjung, bioskop di Jalan Tanah Abang I (sekarang) itu memasang iklan pada 31 Desember 1900 bahwa ”Moelain 1 Januari 1901 bajarannja dikoerangin”. Kelas satoe f 1,25 (semoela f 2), kelas doea f 0,75 (tadinja f 1) dan kelas tiga f 0,25 (sebelumnja f 0,50). Ditambahkan juga tentang adanya pertunjukan khusus ”seminggu sekali, saban (tiap) hari Rebo”, yaitu ”Pertoendjoekan boeat anak-anak. Pembajaran boeat satoe anak dan penghanternja f,050”. Kelas tiga, kemudian dikenal sebagai ”kelas kambing”, yang paling murah itu diidentikkan dengan pribumi, sehingga penutup iklan menyebutkan ”Pembajaran boeat orang Slam f 0,25.” Orang Slam (= Islam) adalah pribumi.
Bioskop pertama itu sempat berganti tangan, dan berubah menjadi The Roijal Bioscope pada tanggal 28 maret 1903.

Perkembangan pada 5 tahun pertama, menunjukkan adanya kemajuan, sebagaimana iklan 6 November 1905 bahwa setiap malam, bioskop akan memutar film untuk 2 kali pertunjukan yaitu dari jam 19:00 – 19:30 dan jam 21:30 – 23:00.
Disamping itu juga mulai dipertunjukkan film cerita yang diimpor dari Amerika. Meskipun dengan judul “Melajoe” (Indonesia), seperti pada iklan 23 September 1905 : “BOENGA MAWAR, tjeritaan pandjang sekali”. Sementara produksi dalam negeri baru berupa film-film mengenal “Hindia”, pemandangan alam, hasil bumi, adat-istiadat, macam-macam upacara dan lain-lain.

Sementara itu di Amerika pada bulan Januari 1903 diedarkan film cerita pertama, “The Life of An American Fireman” karya Edwin S. Porter (1869-1941). Di akhir tahun itu menyusul karya Porter lainnya, “The Great Train Robbery”. Feature pertama di Italia tahun 1905 judulnya “La Presa di Roma” hasil penyutradaraan Filateo Alberini. Uni Sovyet mengedarkan “Stenka Razin” dari Vladimir Romashkov bulan Desember 1908. India tampil dengan “Rajah Harishadra” tahun 1913, sedangkan korea memulai film ceritanya leweat “Righteous Revenge” tahun 1919. Dalam hal ini Indonesia ketinggalan, baru membuat film cerita tahun 1926.

Pada surat kabar “Sin Po” 22 Agustus 1923 terdapat tulisan “Film bakal dibikin di Java” oleh Middle East Film Coy, Surabaya. Nyatanya cuma menghasilkan film ”adoe djotos” (tinju), yang diputar di Luxor Theater (Jakarta) September 1923. Kebanyakan hanya memutar film-film cerita dari luar, baik bioskop Jakarta maupun kota-kota lain. Surat ”Soereabaiasche Niewsblad” 27 Maret 1915 menyebut adanya Cinema Palace di kota itu, sedangkan dalam edisi 17 Januari 1916 terdapat bioskop lain Oost-Java Theater. Pada tahun 1923 di Medan ada beberapa buah ”gambar idoep”. Berita surat kabar ”Keng Po” 10 September 1923 menyebutkan ada diputarnya film penerangan tentang ”Pos dan Telegraf” di salah satu bioskop di Medan.

Di Surabaya dan Jakarta makin ramai. Harian ”Sin Po” Surabaya tanggal 21 Agustus 1923 memasang iklan: ”Toean-toean eigenaar dari Bioscope, ditawarkan satoe GEDONG BIOSCOPE tertoetoep genteng besarnja 14 x 40 M, dengan satoe kamar masin besarnja 11 ½ x 12 M, brikoet Locomobiel dynamo, electr. Installatie dan laen-laen inventaris jang compleet, semoeanja masi dalem keadaan baek”. Bisnis bioskop nampaknya bagus. Apalagi di Jakarta. Bioskop-bioskop terbuka (openlucht) menjadi daya tarik untuk suatu taman rekreasi seperti di Uni Park (Jatinegara). Demikian juga di Gambir Park, yang letaknya berdekatan dengan tempat penyelenggaraan pasar malam tahunan di Lapangan Gambir (Medan Merdeka) untuk menyambut HUT ratu Belanda, yaitu Pasar Gambir. Pada tahun 1923 diadakan mulai 31 Agustus hingga 6 September. Tapi Gambir Park tidak mau kehilangan pengunjung, sehingga mengambil tindakan agak ”berani” yakni untuk masuk di Gambir Park pengunjung tidak dipungut biaya, sehingga memberikan kesempatan lebih besar kepada rakyat yang tidak mampu.

Daya tarik yang kuat dari pertunjukan bioskop juga dimanfaatkan untuk kepentingan sosial. Casio Theater (Centrale Bioscope) di Jatinegara sebagaimana dilansir Surat Kabar Perniagaan pada 14 Agustus 1923, bahwa 25% hasil bersih dari pemutaran film ”Who Cares” akan disumbangkan kepada Indische Bronbeek guna membantu pensiunan militer yang hidup dalam kekurangan.
Harga karcis bioskop ketika itu terbilang murah, karena selalu ada ”kelas pribumi” yang hanya f 0,25, f 0,20, malah f 0,10. Terdapat pula bioskop rakyat dengan harga rata-rata f 0,20, yaitu Dianah Biograph di Pancoran. Sementara itu produksi Hollywood mulai disaingi film-film Tiongkok (Cina), ditawarkan oleh China Moving Picture (China Film Co) sebagai ”hootdagent boeat Hindia Belanda” yaitu ”LI TING LANG, satoe tjerita waktoe revolutie di Tiongkok”, dan ”Film Tiongkok Speciaal : satoe Prampoean jang Berboedi” (1924).

Film semasa film bisu, memang diiringi musik hidup, padahal di Barat sudah mulai usaha membuat film bersuara. Mulai 1923 seperti di muat di ”Keng Po” 16 November 1923 :”Film Jang Bisa Bitjara”. Tapi baru 4 tahun kemudian jadi kenyataan. Film pertama yang ada adegan bicaranya “The Jazz Singer” dengan Al Johnson, diputar pada 6 Oktober 1927. Dan seluruhnya bicara (all-taking), “Lights of New York” dipertunjukkan pada 6 Juli 1928.

Loetoeng Kasaroeng

Tahun 1925 bioskop di Indonesia mulai nampak ada kemajuan. Bioskop-bioskop mulai dibuka di kota-kota lain yang semula belum memiliki sarana hiburan tersebut. Antara lain di Bandar Lampung, kemudian pada awal Januari 1926 juga dibuka bioskop di Pakan Baroe.
De Preanger Post, 6 Februari 1926 mengumumkan bakal adanya ”Sebuah Industri Film di Hindia”. Akhirnya muncul L Heuveldorp dari NV Java Film Company, yang telah bertahun-tahun berpengalaman di Amerika dalam penyutradaraan, membuat film ”Loetoeng Kasaroeng”, sebagaimana ditulis De Locomotief No. 70 tgl 30 Agustus s/d 1 September 1926. Perusahaan tersebut mempunyai sebuah Laboratorium dengan peralatan lengkap di Bandung di bawah pimpinan G Krugers, seorang Indo Belanda.
Loetoeng Kasaroeng memang film cerita pertama di Indonesia. Film tersebut mulai diputar tanggal 31 Desember 1926 di Elita dan Oriental Bioscoop di Bandung. Film tersebut mandapat sambutan cukup baik, karena diputar hingga 6 Januari 1927.
Film Bitjara

Sesudah ”Loetoeng Kasaroeng” (1926) baru muncul satu film cerita lain pada tahun berikutnya, yaitu ”Eulis Atjih” dari perusahaan dan orang-orang yang sama. Tapi perusahaan yang baru muncul, Halimun Film Bandung (Wong Bersaudara) membuat ”Lily van Java”, sedangkan ”Setangan Berloemoer Darah” diproduksi oleh Centra java Film Coy (Semarang). Keduanya pada tahun 1928.
Film-film yang diproduksi Amerika ketika itu menggunakan teks bahasa Inggris, sementara di Indonesia umumnya digunakan bahasa Belanda. Kemudian film tersebut diganti dengan teks bahasa Indonesia agar para penonton bisa memahami jalannya cerita.

Sebetulnya merupakan suatu kesempatan bagi film ”dalam negeri” untuk tampil. Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Nansing Film Corporation, perusahaan film Tionghoa yang kedua di Indonesia gulung tikar ketika baru membuat satu film yaitu ”Resia dari Boroboedoer” (1929) dimana Miss Olive Young sebagai pemeran utama. Kemudian The South Sea Film Company di Batavia yang mogok di tengah jalan ketika baru mengeluarkan satu film ”Lily van Java” bekerjasama dengan Halimoen Film, Bandung.
Namun pada 1 September 1929, di Weltevreden telah didirikan satu perusahaan film baru, yaitu Tan’s Film Company, oleh orang-orang yang mengetahui betul seluk beluk bioskop di Indonesia. Tan’s Film bersama Krugers Film Bedrijf di Bandung mempelopori pembuatan ”Film Bitjara” dengan ”Doenia Film”.

Namun film yang dibuat belum sempurna, namun perusahaan tersebut berusaha membuat film dengan menggunakan bahasa Indonesia. Kemudian menyusul The Teng Chun dengan ”Boenga Ross dari Tjikembang” (1931). Dalam hal ini Indonesia lebih unggul, karena Korea baru muncul dengan film bersuara pertama tahun 1935 berjudul ”Chunyangyon”.
Persatuan

Indonesia tidak terlalu ketinggalan dengan Amerika yang membuat film bicara tahun 1927, namun tidak diimbangi oleh dukungan bioskop, sehingga ”film bitjara” Indonesia belum luas peredarannya. Film-film tersebut belum dapat diputar di bioskop-bioskop kelas satu (eerste rang bioscoop) baik di Jakarta maupun di Bandung. Sedangkan di kota-kota kecil belum semuanya memiliki alat untuk memutar film.

Nasib bioskop semakin membaik. Mulai 1934, di Surabaya dibuka bioskop baru ”Simpang Theater” oleh pemilik bioskop Capitol di Jakarta, Johnny Duell. Kemudian pada 13 September 1934, dibentuk Persatuan Bioskop Hindia Belanda (Nederlandsch Indiesche Bioscoopbond) di Jakarta. Pengurus sementaranya adalah Holthaus (Ketua) dari Centraal Theater, Buitenzorg (Bogor). Diantara komisarisnya terdapat Oey Soen Tjan dari Cinema Palace, Jakarta, Yo Hong Sing dari Globe Bioscoop Jakarta, sedangkan Bendahara dijabat oleh Van Der Io dari Centrale Bioscoop, Jatinegara. Karena kemampuan finansial dari para pengusaha bioskop berbeda-beda, maka dalam membayar iuran bioskop di bagi dalam 3 kelas. Bioskop kelas 1 f 15, bioskop kelas 2 f 10, dan bioskop kelas 3 f 5, per bulan. Penasehat hukum Mr. Van Hasselt mendapat tugas mengusahakan status hukum bagi Persatuan Bioskop Hindia itu. Organisasi didirikan dengan tujuan untuk ”memperkuat kedudukan dalam menghadapi kesulitan”.

Persatuan Bioskop Hindia Belanda kemudian mengadakan kerjasama dengan pihak Gabungan Impirtir Film (Bond Van Filmimporteurs) melalui rapat bersama tanggal 8 November 1934 di Deca Park, Jakarta. Ketika itu jumlah bioskop sudah mencapai 227 buah. (Filmrevue, tahun ke-2, no. 22, Maret 1936). Namun bisa jadi belum semua bioskop masuk menjadi anggota organisasi. Dari daftar tersebut, ternyata bioskop di Indonesia tidak hanya di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Palembang, Surabaya, Banjarmasin, Medan, Makassar, tetapi juga di kota-kota kecil, sepereti Ambarawa, Balige, Jombang, Kendal, Salatiga, Tegal, Subang dan lain-lain.
Walau bisnis bioskop cukup baik, tetapi perolehan status hukum bagi bond (persatuan) memakan waktu agak lama. Baru pada 16 Agustus 1937 terlaksana. Pengurus yang terdiri dari Belanda (Indo maupun bukan) dan orang-orang Cina, menunjukkan bahwa mereka punya pengaruh. Hampir separuh dari daftar tahun 1936 (sebanyak 100 bioskop) dimilik oleh orang-orang Cina.

Panen dan Perang

Hampir 40 tahun setelah adanya pertunjukan film pertama tanggal 5 Desember 1900, bond bioskop diresmikan pendiriannya. Pada tahun yang sama, 1937, diproduksi film ”Terang Boelan”. Menurut Nio Joe Lan (Junus Nur Arif), film tersebut merupakan produk dari perusahaan film Eropa dan selanjutnya dianggap sebagai hasil terakhir dari kerjasama antara golongan Eropa – Pribumi – Cina. Film tersebut meraup sukses. Cerita romantis diselingi nyanyi, tari, lawak dan sedikit action itu mengorbitkan Roekiah – Rd. Mochtar. Penulis skenario yang pribumi, Wo (wong bersaudara), penanggungjawab teknis orang Cina, dan Ba (link) yang orang Belanda menjadi Sutradara. Keberhasilan ”Terang Boelan” melahirkan ”panen” pertama dalam sejarah pembuatan film di Indonesia pada tahun 1941.

Tahun Jumlah Produksi Catatan

1926 = 1 masih bisu
1927 = 1
1928 = 2
1929 = 5
1930 = 7
1931 = 5 mulai ”bitjara”
1932 = 5
1933 = 1
1934 = 3
1935 = 3
1936 = 2
1937 = 3
1938 = 4
1939 = 4
1940 = 13
1941 = 41 ”panen” pertama
1942 = 3


Pada 1942 anjlog, karena Jepang telah mengusir Belanda dari Indonesia pada bulan Maret 1942. Tentara/Pemerintah pendudukan Jepang melarang semua perusahaan film melakukan aktivitas. Mereka kemudian membentuk Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Sidhoso), yang diantaranya terdapat Nippon Eiga Sha, bagian Film. Akibatnya terjadi kekosongan produksi film cerita pada tahun 1943. Baru tahun 1944 dihasilkan 6 film, namun hanya 1 judul yang full-length feature yaitu ”Berdjoeang”.
Tahun 1945 tidak dihasilkan apa-apa, sementara Jepang terdesak hampir disetiap front peperangan. Bulan Agustus ”Saudara Tua” itu angkat kaki dari bumi pertiwi dan Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Disusul dengan revolusi fisik melawan Belanda yang hendak coba-coba menjajah kembali. Akibatnya pada tahun 1946 dan 1947 juga tidak ada produksi film.

Sukses ”Terang Boelan” antara lain berkat Roekiah yang oerang panggung, penyanyi dan pemain sandiwara. Maka pemain-pemain pentas ditarik ke layar putih demi menarik penonton. Rd. Ismail, Fifi Young, Tan Tjeng Bok, Astaman dan lain-lain. Ketika kegiatan film dilarang oleh Jepang, mereka kembali ke dunia panggung. Kegiatan itu berlanjut hingga ke masa revolusi fisik. ”Bintang timur”, ”Ratu Asia”, ”Maya”, dan ”Bintang Surabaya”, tergolong perkumpulan sandiwara yang terkemuka.
Tanggal 23 Juli 1945 di putar film produksi tahun 1940, berjudul ”Moestika dari Djenar” di Bandung. Film tersebut dibintangi oleh Dhalia – Rd. Mochtar. Pada masa penjajahan Jepang, film-film yang diputar adalah film yang menonjolkan kegagahan Jepang, yang membuat rakyat tambah kagum kepada pengurus penjajah Belanda yang telah bercokil selama 3 ½ abad itu. Menjelang akhir riwayatnya, Jepang memberi kesempatan kepada orang-orang Indonesia untuk mempelajari bidang teknik dalam pembuatan film. Dimasa sebelumnya, bagian tersebut hanya berada di tangan Belanda dan Cina.

Pendudukan Jepang yang hanya 3 ½ tahun belum mampu merubah selera masyarakat yang senang pada film-film Amerika/Barat, sementara sebagian kecil senang pada film dari Cina, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta.
Pada 22 Januari 1948, bioskop “Rialto” Senen memutar film “Ken Mynard dan Gene Autry”, 2 cowboy yang paling terkenal dalam IN OLD SANTA FE. Sedangkan bioskop “Thalia” mempertunjukkan produksi nasional dari masa sebelum kemerdekaan, “Ikan Doejoeng” (1941). Pada 6 Februari 1948, Rialto maupun Thalia sama-sama menghidangkan film Indonesia, masing-masing ”Rlekihati” (1940) dengan Roekiah-Djoemala, dan ”Gagak Item” (1939) yang dimainkan Roekiah-Rd. Mochtar. Sedangkan ”Centrale” (Jatinegara) memutar film fantasi dari Hollywood ”The Thief of Bagdad”.
”Moestika dari Djenar” (1940) meraih sukses luar biasa di Rialto, yang diputar selama 8 hari. Pada 19 Februari 1948, Thalia mempertunjukkan film dalam negeri ”Kartinah” (1941) dengan Astaman dan Ratna Asmara. Pada 27 Maret memutar ”Poetri Rimba” dan 30 Maret ”Elang Darat”. Sedangkan pada 14 April 1948 memutar ”Koeda Sembrani” yang dibintangi Roekiah-Djoemala. Sukses ”Moestika dari Djenar” seakan mendorong dimulainya lagi pembuatan film Indonesia. Dimulai oleh pihak Belanda dengan perusahaan South Pacific Film Corporation (SPFC), memproduksi ”Djaoeh Dimata” dan ”Anggrek Bulan”. Disusul oleh Tan & Wong Bros, ”Airmata Mengalir di Tjitarum”. Ketiganya produksi tahun 1948.

Tahun 1949 muncul perusahaan ”Bintang Surabaya” yang menampilkan ”Sehidup Sejati”. Perusahaan tersebut didirikan oleh The Teng Chun dan seoreang pemilik beberapa bioskop di Malang, Fred Young. Sedangkan Tan & Wong Bros merupakan usaha bersama dari Wong Bersaudara dan Tan Koen Hian. Teng Chun dan Koen Hian adalah orang-orang yang paling banyak membuat film pada masa sebelum mendaratnya Jepang di Indonesia. Sedangkan Fred Young adalah pemimpin sandiwara ”Bintang Surabaya”.
Usmar Ismail, salah seorang tokoh perkumpulan sandiwara ”Maya” mendapat kesempatan mencoba keahliannya lewat 3 produksi SPFC, yaitu ”Gadis Desa” sebagai asisten sutradara bagi Andjar Asmara, serta sebagai sutradara ”Harta Karun” dan ”Tjitra”. Teori-teori film yang diperolehnya selama di Pusat Kebudayaan (masa Jepang) dan dalam diskusi antara teman selama di Jogja pada 1947. Namun kedua film itu tidak diakui Usmar sebagai film karyanya. Baru pada 1950 setelah Usmar mendirikan PERFINI (Perusahaan Film Nasional Indonesia), ia memproduksi “Darah dan Do’a” sebagai produksi pertamanya yang dikerjakan seratus persen oleh Usmar. PERFINI merupakan perusahaan film nasional pertama. Pada 1951 disusul oleh Djamaluddin Malik dengan PERSARI (Perseroan Artis Republik Indonesia), yang memulai langkahnya dengan ”Marunda”.

Jumlah bioskop tahun 1954 ditaksir sebanyak 500 buah. Yang terbanyak di Jakarta (40), Surabaya (25), Bandung (19) dan medan (16). Masing-masihg berkapasitas 600 sampai 1.000 kursi.

Untuk mempopulerkan film Indonesia, Djamaluddin Malik mendorong terselenggaranya Festival Film Indonesia yang pertama, 30 Maret – 5 April 1955. ”Lewat Djam Malam”, produksi bersama Perfini-Persari yang disutradarai Usmar Ismail tampil sebagai film terbaik. Juga dalam rangka memilih wakil Indonesia ke Festival Film Asia kedua di Singapura, dengan penyelenggara Persatuan Produser Film Asia yang dibentuk di Manila pada November 1953, Djamaluddin dan Usmar ikut berperan.
Turunnya Djamaluddin Malik dan Usmar Ismail dalam forum regional/internasional membawa hikmah tersendiri, sebab untuk menjadi anggota persatuan produser Asia, haruslah sebuah persatuan pula, bukan perorangan atau suatu perusahaan. Maka pada bulan Agustus 1954, dibentuklah Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI) dengan Ketua Usmar Ismail dan Wakil Ketuanya Mustari. Diantara tujuannya adalah membina kerjasama dalam membangun industri film, secara teknis, artistik dan komersil, juga sebagai juru bicara di dalam maupun di luar negeri.

Film Usmar ”Krisis” laris di tahun 1954, yang dalam pertunjukannya di Metropole mencapai minggu ke empat dengan penonton yang penuh setiap pertunjukannya. ”Krisis” juga menyaingi perolehan pendapatan film ”Ivanhoe” dan ”Julis Caesar” produksi MGM.
Festival Film Indonesia pertama tersebut berlangsung di bioskop ”Metropole” dan ”Cathay”. Di bioskop Metropole itu pula lahir Persatuan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (PPBSI) pada 10 April 1955.

Dalam Kongres yang dimulai tanggal 8 April 1955 tersebut hadir sebanyak 51 pengusaha bioskop dari seluruh Indonesia. Terpilih kepengurusan pertama PPBSI, sebagai berikut :
Ny. Maria Ulfah Santoso (Subadio),SH Pelindung
R. Prodjolatito Penasehat
Bh. Sabaroedin Penasehat
Souw Hong Tjoe, SH Penasehat Hukum
Roeslan Abdulmanan Ketua
Oey Soen Tjan Wakil Ketua
Loa Tin Sioe Penulis
Oei Soei Yam Bendahara

Tujuan PPBSI antara lain, mengadakan pembicaraan secara luas mengenai kepentingan anggota-anggotanya, mengemukakan kepentingan-kepentingan (kesulitan-kesulitan) kepada pemerintah, membuat perbaikan – dimana perlu pada peraturan-peraturan yang menghalangi kemajuan perusahaan-perusahaan bioskop, bekerjasama dengan pengusaha-pengusaha (persatuan-persatuan) bioskop di luar negeri guna kepentingan anggota-anggotanya, dengan segala daya upaya mengadakan dan mencukupi kebutuhan alat-alat dan film-film guna pengusaha-pengusaha bioskop, dan usaha-usaha lain yang berfaedah untuk anggota-anggotanya.

Di solo, tanggal 5 Januari 1950 berdiri GAPEBI (Gabungan Perusahaan Bioskop Indonesia) yang beranggotakan 5 bioskop, yaitu ”Sriwedari”, ”Rex”, ”Indra”, ”Ura Patria” dan ”Dhady”, sedangkan 3 lainnya tidak, yaitu ”Star”, ”Dewi” dan ”Srikaton”. Namun baik yang anggota maupun yang bukan ikut angkat bicara waktu DPRD – Surakarta menaikkan pajak tontonan dari 20% menjadi 30%, terhitung mulai bulan Februari 1953. GAPEBI tidak bisa berbuat banyak. Untuk mengatasinya, mereka menaikkan HTM kelas satu menjadi Rp 3,50.- dan kelas dua Rp 2,50.- serta kelas tiga tetap Rp 1.-

GAPEBI yang wilayah cakupannya hanya Yogyakarta dan Solo, namun lebih tua dibanding PPBSI. Namun GAPEBI dalam rapatnya tanggal 1-2 April 1960 di Solo menyatakan bergabung dengan PPBSI. PPBSI pun menyatakan kesediaan sebagaimana hasil rapatnya tanggal 8 – 10 April 1960 di Kopeng, Salatiga. Pengurus organisasi yang baru bergabung tersebut kemudian mengadakan pertemuan di Kaliurang, Yogyakarta pada tanggal 14-15 Mei 1960. Lahirlah GABSI (Gabungan Bioskop Seluruh Indonesia). Hasil fusi tersebut tidak berusia lama, karena berganti nama lagi menjadi Organisasi Perusahaan Sejenis (OPS) Bioskop Swasta pada tahun 1961. Dewan Pengurus OPS Pusat diketuai oleh Roeslan Abdulmanan dan penulis Kaharoedin.

Nama tersebut cukup lama bertahan dan sempat 3 kali konperensi. Pertama di Selecta (Malang) pada 23-25 Mei 1962. Kedua di Lembang, Bandung pada 7-9 Januari 1964. Ketiga di Cipayung (Bogor) pada 29 November – 1 Desember 1966. Pada konperensi ke 4 di Jakarta, 19-23 Desember 1970 menelurkan nama baru, Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) dipimpin oleh ”dwi tunggal” HM Ahadin dan M Johan Tjasmadi, yang kemudian dikukuhkan lewat Surat Keputusan Menteri Penerangan RI No. 114-B tanggal 24 Agustus 1976, sebagai satu-satunya organisasi pengusaha bioskop di Indonesia.

Setelah berlaku efektif Penpres No. 1/1964 sejak masa Orde Baru, orang-orang film mempunyai “bapak” yang sama, yaitu Departemen Penerangan. Sebelumnya urusan perfilman masih terpecah-pecah di beberapa departemen/kementerian. Seperti tahun 1950, sensor di bawah Departemen P & K (tadinya Departemen Dalam Negeri), pengimporan bahan baku dan peralatan film di bawah Departemen Perdagangan, PFN di bawah Departemen Penerangan, sedangkan bioskop di bawah Departemen Dalam Negeri.
Djamaluddin Malik mengibaratkan bahwa bioskop dan pengusaha film itu sebagai suami isteri, yang mempunyai kerukunan dan sayang menyayangi.

Dukungan nyata muncul dari PARFI yang baru muncul 10 Maret 1956 dengan berdemonstrasi ke Isteana, dimana Rd. Sukarno (Rendra Karno) membacakan resolusi di hadapan Presiden Sukarno. Sementara itu PPFI memperkuat diri, secara resmi berdiri dengan akte notaris tertanggal 16 Juli 1956. Tindakan besar pertama yang dilakukan pengurus baru adalah ”menutup studio” pada tanggal 19 Maret 1957. Gebrakan itu berhasil membuka mata pemerintah, impor film India dibatasi. PPFI membuka kembali studionya pada tanggal 26 April 1957.

Penutupan studio tersebut membawa konsekuensi. Bukan saja menghadapi pemerintah yang terus mendesak agar studio-studio tersebut dibuka kembali, tetapi juga menghadapi serangan-serangan gencar dari pihak PKI dan antek-anteknya. Mereka mempermasalahkan untuk mengurangi film India, dengan mengkambing-hitamkan film Amerika yang jumlahnya lebih besar. Padahal film Amerika yang kebanyakan di putar di bioskop kelas satu sama sekali tidak mengganggu film nasional. Sedangkan film India langsung merebut pasaran film nasional di bioskop kelas dua.
Ambruk dan Bangkit

Penyelenggaraan Festival Film Indonesia yang dimaksudkan setiap tahun, nyatanya Cuma terselenggara 2 kali, masing-masing tahun 1955 dan 1960. Dan itupun tidak menolong, produksi anjlog sehabis “panen” festival.

Tahun Produksi Catatan

1954 = 59
1955 = 65 “panen” kedua/Festival pertama
1956 = 36
1957 = 21
1958 = 19
1959 = 16
1960 = 38 Festival kedua
1961 = 37
1962 = 12
1963 = 19
1964 = 20
1965 = 15

Nampak bahwa film Indonesia hanya sebentar menikmati kelegaan (1960), lalu segera dihamtam lagi oleh mulai digiatkannya pengganyangan oleh PKI dan antek-anteknya terhadap lawan politiknya, termasuk para insan film yang umumnya golongan Pancasila. PAPFIAS (Panitia Aksi Pemboikotan Film-film Amerika Serikat) pada tahun 1964/1965 membikin porak poranda perfilman Indonesia.
Dari 753 bioskop yang terdaftar pada OPS Bioskop, Cuma 350 saja yang aktif beroperasi. Penutupan itu karena tidak ada lagi keseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran. Binsis bioskop etap baik di kala ”musim” film Malaya dan India, tetapi tahun 1961-1965 merupakan saat-saat paling kritis dalam sejarah perfilman Indonesia. Pada periode itu, jumlah bioskop yang semula 890 di tahun 1960, tinggal tersisa 350 di tahun 1966.

Dalam keadaan kosong film impor akibat aksi PAPFIAS/PKI, sementara produksi Indonesia baru bangun dari ”pingsan”nya, pemerintah mengambil kebijakan membuka kran impor sebesar-besarnya. Maka bioskop baru bermunculan kembali.


Meski film Indonesia masih dalam keadaan ”nanar”, namun bioskop sudah berhasil bangkit terlebih dahulu. Demikian juga film impor (Amerika, Italia dan lain-lain) tetap disenangi oleh publik kita, dan bioskop dapat ”hidup” apabila tersedia film yang digemari masyarakat.
Penpres No. 1/1964 baru efektif pada tahun 1966, dengan pembentukan Direktorat Film, Departemen Penerangan. Setahun kemudian bulan Agustus 1967 diselenggarakan festival ke tiga sepanjang sejaerah, yaitu Pekan Apresiasi Film Nasional. Usaha membangkitkan kembali gairah ini kurang berhasil. Disamping agak terburu-buru dan kurang persiapan, juga keadaan film Indonesia sendiri sedang parah. Jumlah produksi terus menurun, dan baru naik lagi pada tahun 1970.

Tahun Produksi Catatan

1964 = 20
1965 = 15
1966 = 13
1967 = 14
1968 = 8 dimulainya pembuatan film berwarna
1969 = 9
1970 = 20

Kebangkitan kembali produksi film Indonesia telah mendorong wartawan film yang tergabung dalam PWI Jaya Seksi Film mengadakan pemilihan The Best Actor & Actress di awal 1971. Badan Sensor Film (BSF) juga membantu dengan memberi kelonggaran. Bukan saja adegan cium, adegan sex sekalipun tidak aneh lagi dalam film Indonnesia tahun 70-an. Kalau ”Krisis” pada tahun 1954 sempat menyembukan krisis film

Indonesia, walau hanya sebentar, maka ”Bernapas Dalam Lumpur” menyebabkan produser dapat bernapas lega pada tahun 1970.
Pada tahun 1972, orang-orang film mendirikan Yayasan Festival Film Indonesia (YFI), yang setahun kemudian menyelenggarakan FFI, pada bulan Maret 1973. Dimulainya festival tersebut tercatat sebagai tahun insan-insan film Indonesia bersatu langkah. Pers film lantas mempersilakan FFI menjadi ”pemilih tunggal” dengan menghentikan Pemilihan Best Actor & Actress setelah 5 kali berlangsung (1970-1974). Pemerintah juga mulai mengendalikan impor, dari 700-an judul pertahun pada akhir tahun 60-an, tinggal 600 judul pada 1973. Dan terus ditekan menjadi 500 judul pada 1974, 400 judul pada 1975 dan 300 judul pada 1976.

Share