Senin, 21 Maret 2011

Bangunan Eks. Bioskop Banteng Hebe adalah Benda Cagar Budaya

Bangunan Eks. Bioskop Banteng Hebe adalah Benda Cagar Budaya. “tanggapan atas Bangunan Cagar Budaya Pangkalpinang”

Membaca tulisan Drs. Akhmad Elvian, Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olah Raga, kota Pangkalpinang di beberapa harian media lokal di Provinsi Bangka Belitung (Babel) pada tanggal 27 Januari 2010, tidak lebih hanya sebagai kronologi mengapa Eks Bioskop Banteng Hebe dihancurkan dan seakan melegalkan tindakan yang dilakukan oleh korps-nya pemerintah kota Pangkalpinang. Sangat disayangkan dan memprihatinkan sekali, dimana seharusnya dinas kebudayaan kota Pangkalpinang memberikan pendidikan dan penyadaran publik tentang pentingnya pelestarian warisan budaya, menjaga, dan mempertahankan serta mendorong masyarakat untuk mengembangkan budaya bangsanya. Yang terjadi justru sebaliknya, yaitu ‘rela’ mempertaruhkan reputasi, jabatan atau barangkali juga latar belakang keilmuannya di ruang publik dengan melakukan penggiringan opini masyarakat dan pembenaran-pembenaran atas tindakan kejahatan kriminal yang dilakukan dengan merusak asset budaya bendawi tidak bergerak dari masyarakat Pangkalpinang atau yang biasa kita sebut Benda Cagar Budaya (BCB) sesuai terminologi Undang-Undang No. 5 tahun 1992 tentang BCB.

Tulisan kronologi tersebut boleh dikatakan sebagai sebuah penyesatan informasi kepada masyarakat, dan dapat dikategorikan sebagai kebohongan publik karena menyembunyikan beberapa fakta penting; pertama, tidak disampaikannya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang bangunan cagar budaya; kedua, surat penolakan pembongkaran bangunan eks. Bioskop Banteng dari Direktur Purbakala Depbudpar RI kepada Walikota Pangkalpinang yang ditembuskan kepada Gubernur Bangka Belitung.

Dalam UU No. 5 tahun 1992 pasal 1 ayat (1) dikatakan bahwa: Benda cagar budaya adalah: a). benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (limapuluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan; b). benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Sedangkan pada ayat (2) dikatakan bahwa Situs adalah lokasi yang mengandung atau diduga mengandung benda cagar budaya termasuk lingkungannya yang diperlukan bagi pengamanannya. Lebih lanjut, pada pasal 10, UU No. 5 tahun 1992 disampaikan juga prosedur pendaftaran BCB maupun Situs yang dapat dilakukan oleh siapapun termasuk individu ataupun komunitas masyarakat. Secara umum prosedurnya, pasal 10 ayat 1 dikatakan bahwa setiap orang yang menemukan atau mengetahui adanya BCB dan situs (termasuk benda yang diduga BCB), wajib untuk melaporkannya kepada pemerintah. Berdasarkan laporan tersebut, terhadap benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) segera dilakukan penelitian (pasal 10 ayat 2). Pada ayat (3) pasal 10 dikatakan bahwa: Sejak diterimanya laporan dan selama dilakukannya proses penelitian terhadap benda yang ditemukan diberikan perlindungan sebagai benda cagar budaya. Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Pemerintah menentukan benda tersebut sebagai BCB atau bukan BCB (pasal 10 ayat 4). Perlindungan sebagai BCB sebagaimana pasal 10 ayat (3) UU No. 5 tahun 1992, juga disebutkan lebih rinci pada pasal 14 Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1993 tentang Pelaksanaan UU No. 5 tahun 1992 yaitu ayat (1): Selama proses penelitian, benda dan/atau lokasi temuan dilindungi sebagaimana perlindungan benda cagar budaya, dan ayat (2): Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi pengamanan, perawatan, atau pemeliharaan agar tidak rusak, hilang, berubah bentuk dan wujud, nilai sejarah dan/atau keasliannya.
Bangunan eks. Bioskop Banteng Hebe di Pangkalpinang dibangun pada tahun 1914 – 1917 dengan menghabiskan lahan seluas 1.700 m2. Dari sisi usia, bangunan ini sudah berusia lebih dari 93 tahun.

Hal ini, jauh lebih tua melebihi syarat yang ditentukan menurut UU yaitu sudah lebih dari 50 tahun. Dalam konteks sejarah, bangunan eks. Bioskop Hebe merupakan bioskop pertama di Pangkalpinang, bahkan bangunan bioskop pertama di Indonesia yang masih tersisa. Hal ini menunjukkan bahwa bangunan bioskop ini merupakan bangunan langka di bidangnya dan menjadi barometer perfilman di tanah air. Jikalau dilihat pada arsip-arsip sejarah maupun dapat kita cari di mesin pencari google, perfilman sudah mulai diperkenalkan di Indonesia pada awal tahun 1900 yaitu di daerah Pasar Baroe – Jakarta, tetapi saat ini sudah tidak terlihat lagi bekas dan sisa-sisanya, karena pada waktu itu pemutaran film dilakukan di lapangan terbuka atau tidak menggunakan bangunan yang sifatnya permanen, biasa orang menyebutnya misbar (gerimis bubar) atau layar tancap. Dari tinggalan bangunan bioskop tersebut, seharusnya-lah bangunan ini menjadi kebanggaan masyarakat Pangkalpinang. Banyak hal yang dapat kita pelajari dari bangunan yang telah hancur tersebut. Diantaranya, kita dapat mempelajari tentang situasi sosial, politik, dan kebudayaan pada masa itu, termasuk bagaimana hubungan Pangkalpinang maupun negara Indonesia melalui Pulau Bangka Belitung ini terhadap bangsa lain seperti China, Belanda. Malaysia, Singapura ataupun yang lainnya. Menurut informasi, misalnya dikatakan bahwa pembangunan bioskop Banteng Hebe dilakukan atas bantuan Jenderal China Li Xie-he yang konon, tiba di Pulau Bangka dan membantu warga Tionghoa di perantauan.

Bahkan bangunan ini juga pernah digunakan sebagai gudang Borsumij (Borneo Sumatra Handel Maatschappij) tahun 1925. Pada era Presiden RI Soekarno, bangunan tersebut lebih dikenal dengan nama Bioskop Banteng. Banyak informasi dan fakta-fakta sejarah yang bisa didapatkan, digali, dan dikembangkan melalui bangunan yang ada serta dapat disaksikan oleh generasi-generasi berikutnya. Tentu informasi dan fakta-fakta yang ada sangat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan. Sebagai bioskop tertua, tentu hal ini dapat dimanfaatkan dan dikembangkan sebagai pusat budaya dan perfilman bagi masyarakat Pangkalpinang maupun masyarakat Indonesia untuk menggali kreativitas dan daya nalar masyarakat, bukan hanya melahirkan budayawan-budayawan konservatif yang ’membeo’ terhadap kepentingan pemerintah. Oleh karena itulah, Balai Pelestarian dan Peninggalan Purbakala (BP3) Jambi yang mempunyai kewenangan kerja sampai ke wilayah Sumatera Selatan dan Bangka Belitung melakukan kajian dan penelitian terhadap eks. Bangunan bioskop Hebe dimana hasilnya adalah bangunan tersebut memenuhi syarat sebagai Benda Cagar Budaya dan wajib dilindungi. Pemerintah kota sebenarnya sangat menyadari dan mengetahui informasi dari BP3 Jambi tersebut. Namun faktanya pada tanggal 20 Januari 2010, bangunan tersebut tetap dihancurkan oleh Satpol PP beserta dua alat berat berdasarkan instruksi langsung Walikota Pangkalpinang.













Ada beberapa indikasi pelanggaran yang sangat fatal atas pengrusakan bangunan eks. Bioskop Banteng Hebe Pangkalpinang, diantaranya;

Pertama, melanggar Undang-Undang No. 5 tahun 1992 dan PP No. 10 tahun 1993 dengan tindakan kejahatan pidana yaitu pengrusakan bangunan Benda Cagar Budaya eks. Bioskop Banteng Hebe dan diancam pidana 10 tahun penjara dan atau denda seratus juta rupiah (pasal 26) dan juga terindikasikan melanggar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait pengrusakan asset negara, tentu hal ini bisa mendapatkan sanksi hukum yang lebih berat.

Kedua, mengabaikan surat penolakan pendirian pusat perbelanjaan Bangka Trade Center (BTC) yang telah dikirimkan oleh Direktur Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI kepada Pemkot Pangkalpinang dengan surat nomor: UM.101/1886/DIT.PP/SP/XII/09 tertanggal 31 Desember 2009 perihal Permohonan Pembatalan Pembongkaran Bioskop Banteng dan surat nomor: UM.101/072/DIR.IV/SP/14.I/2010 tertanggal 14 Januari 2010 perihal Tanggapan Rencana Pembongkaran Bioskop Banteng. Keluarnya Tanggapan dari Direktur Purbakala Depbudpar RI didasarkan pada surat Walikota Pangkalpinang No.644/012/BUDPARPORA/2010 tanggal 11 Januari 2010 perihal rencana pembongkaran Bioskop Banteng. Inisiatif walikota mengeluarkan surat permohonan rencana pembongkaran Bioskop Banteng ini sebenarnya dilakukan sesuai dengan perintah peraturan perundang-undangan yaitu Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1993 tentang Pelaksanaan UU No. 5 tahun 1992 tentang BCB, pasal 44 yang menyatakan bahwa: Setiap rencana kegiatan pembangunan yang dapat mengakibatkan tercemar, pindah, rusak, berubah, musnah, atau hilangnya nilai sejarah benda cagar budaya serta tercemar dan berubahnya situs beserta lingkungannya, wajib dilaporkan terlebih dahulu kepada Menteri secara tertulis dan dilengkapi dengan hasil studi analisis mengenai dampak lingkungannya terutama berkaitan dengan hasil studi arkeologi. Artinya, Pemerintah Kota Pangkalpinang sebenarnya sangat memahami persoalan hukum dan prosedur-prosedur yang harus dipenuhi dalam mendirikan bangunan di areal yang terdapat BCB. Namun demikian, bangunan tetap saja diratakan dengan tanah pada tanggal 20 Januari 2010 meskipun sudah ditolak direktur Purbakala Depbudpar RI. Disini dapat dilihat bahwa pemerintah kota Pangkalpinang dengan sadar dan terencana telah melakukan perbuatan melawan hukum.


Ketiga, Melawan kebijakan Mendagri maupun Menbudpar RI melalui Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri RI No. 42/2009 dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI No. 40/2009 tentang Pedoman Pelestarian Kebudayaan dalam pasal (2) dikatakan bahwa: Kewajiban pemerintah daerah yaitu melaksanakan pelestarian kebudayaan di daerah yang dapat dilakukan melalui kegiatan perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan. Ada dua hal prinsip kenapa pemerintah perlu melestarikan kebudayaan bangsa menurut peraturan bersama dua menteri tersebut, diantaranya 1) ditujukan ke arah pemenuhan hak-hak asasi manusia, pemajuan peradaban, persatuan dan kesatuan, serta kesejahteraan bangsa Indonesia; 2) untuk memperkokoh jatidiri bangsa, martabat, dan menumbuhkan kebanggaan nasional serta mempererat persatuan dan kesatuan bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pesan ini sudah disampaikan ke Walikota Pangkalpinang melalui surat yang dikirimkan oleh Direktur Purbakala Depbudpar RI tertanggal 31 Desember 2009 dan 14 januari 2010. Dan pelanggaran yang keempat adalah Pemerintah Kota Pangkalpinang tidak dapat menunjukkan surat ijin dan bukti hasil kajian ataupun studi analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) serta hasil studi arkeologi dalam pembangunan BTC di areal situs yang dilindungi sebagai BCB. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan membongkar bangunan eks. Bioskop Banteng Hebe adalah tindakan yang tidak berdasar, baik secara akademis, filosofis, maupun legal formal (hukum). Yang menjadi pertanyaan adalah, kenapa Pemerintah Kota Pangkalpinang berbuat senekad itu? Ada apa di balik pembangunan Bangka Trade Center (BTC)?


Sangat memprihatinkan sekali disaat pemerintah selalu mengkampanyekan hukum sebagai panglima dan terus-menerus mengkampanyekan pemberantasan korupsi sampai ke akar-akarnya, serta mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih dan berorientasi melayani masyarakat, ternyata setelah 11 tahun reformasi, masih sebatas perkataan dan belum sampai pada tindakan. Tindakan masyarakat melalui perwakilan pedagang pasar Pangkalpinang dan sekitarnya untuk melaporkan keberadaan bangunan tua bioskop Banteng dan pasar tradisional agar dapat dilestarikan sesuai surat No. 008/P4S-PKP/VII/2008 kepada Menteri Perdagangan RI merupakan tindakan positif dan perlu ditiru oleh masyarakat lainnya. Apa yang dilakukan masyarakat tersebut seharusnya menjadi pelajaran bagi pemerintah kota Pangkalpinang, bahwa partisipasi masyarakat dalam pembangunan sangatlah dibutuhkan. Masyarakat bukanlah objek pembangunan sebagaimana hal ini pernah diwariskan rezim orde baru. Di era reformasi, masyarakat merupakan subjek dari pembangunan. Pembangunan yang dilakukan harus berorientasi pada kebutuhan masyarakat dan bukan atas kepentingan penguasa.

Membangun Bangka Trade Center (BTC) tidak terkait langsung dengan kesejahteraan dan kemandirian masyarakat, apalagi kalau dikatakan dapat mengurangi pengangguran. Pembangunan BTC sebenarnya, menyingkirkan masyarakat pasar tradisional yang sudah mempunyai pekerjaan disana. Seharusnya pemerintah, lebih memberdayakan mereka untuk lebih efektif lagi berwirausaha dan mengentaskan masalah pengangguran dengan cara memberikan ketrampilan dan modal. Dan bukan mencarikan mereka pekerjaan baru, karena hal itu justru akan menambah kemiskinan baru.


Bangunan atau benda cagar budaya sebagai warisan budaya bangsa seringkali menjadi korban atas nama pembangunan pusat perbelanjaan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Kiranya Hebe merupakan kasus pembantaian terakhir terhadap warisan budaya yang ada di Pangkalpinang. Tindakan hukum yang telah dan sedang dilakukan oleh masyarakat Pangkalpinang atas pengrusakan bangunan bioskop Banteng sebagai bioskop pertama di Pangkalpinang dengan melaporkan kepada Menbudpar RI, Kepolisian RI, dan pihak lain yang terkait, selayaknyalah didukung oleh masyarakat. Sehingga kasus-kasus HEBE lainnya tidak terulang kembali di masa yang akan datang, apalagi jikalau sampai merusak bangunan cagar budaya untuk pembuatan lahan parkir Bangka Trade Center. Menghapus sejarah pahit bukan dengan cara menghancurkan dan meniadakan bangunan yang ada. Meminjam perkataan tokoh besar bangsa, Gusdur, bahwa kita harus memaafkan masa lalu, tetapi tidak untuk melupakan. Menghancurkan kebudayaan warisan masa lalu sama halnya melupakan dan memutus mata rantai sejarah. Bangunan Belanda yang tersebar diseluruh penjuru tanah air, dimana negara tersebut pernah menjajah negeri ini selama tiga setengah abad tetap berdiri tegak, kokoh, dan terpelihara dengan baik. Bangunan peninggalan Belanda, banyak yang dijadikan sebagai kantor-kantor pemerintahan dari tingkat pusat sampai daerah. Sebut saja istana Kepresidenan dan kantor pejabat-pejabat negara di Jakarta. Apa jadinya jikalau seluruh bangunan dan dokumen Belanda di Indonesia dihancurkan?

Anak-cucu kita hanya akan mendengar cerita dongeng bahwa Belanda pernah mendiami Indonesia tetapi tidak pernah menyaksikan kebenaran cerita itu melalui tinggalan sejarah dan budaya yang ada. Apabila ada Bangunan Cagar Budaya yang kemudian lapuk termakan oleh usia, itu adalah hal yang wajar dan bukan dijadikan alasan untuk menghancurkannya. Oleh karena itulah dalam perspektif pelestarian warisan budaya, dikenal adanya upaya perlindungan dan pemeliharaan BCB, dimana hal itu menjadi tanggung jawab pemerintah, baik pusat maupun daerah, sehingga suatu benda, bangunan, atau situs cagar budaya dapat disaksikan oleh generasi kini maupun yang akan datang. Meskipun demikian masyarakat secara perorangan ataupun kelompok dapat pula berperan serta dalam upaya pelestarian warisan budaya. Tentu dibutuhkan pemimpin pemerintahan yang kreatif dan cerdas untuk mengelola warisan budaya bangsa.

Joe Marbun
http://joemarbun.wordpress.com 
Share