Selasa, 22 Maret 2011

Legenda Kekuatan Film Komedi


Menggelitik tawa penonton, jauh lebih susah dibandingkan dengan membawanya menangis. Terbukti, di masa kebangkitan kedua perfilman nasional sejak tahun 2000, setelah film "Bernapas Dalam Lumpur" membukukan sejarah pembangkit industri perfilman tahun 1970, belum mampu menderaskan lagi kemasan wajah film komedi bernilai jempolan. Walau begitu, genre komedi tidak pernah tandus dari kesuburan peta produksi film.

Akan tetapi, itu kebanggaan semu! Karena, film berlakon drama komedi yang beredar sampai tutup tahun 2009, lebih cenderung hanya rebutan memburu kemenangan komersial semata. Tidak lagi bersaing meninggikan derajat filmis, dalam bangunan komedi. Film semacam itu bagai ekspresi sejumlah pedagang film, yang tergoda "mencuri" peluang sukses dari perhitungan kejenuhan pasar atas wabah tema horor, mistik, laga, dan drama percintaan.

Upaya menyodok kemungkinan potensi pasar itu, yang mengembangkan lagi pola dagang banyolan ringan, dengan penjualan judul berdaya konotatif! Apa mau dikata, jika bermunculan film berpredikat komedi di atas pertaruhan judul semacam, "Anda Puas, Saya Loyo", "Pijat Atas Tekan Bawah", hingga "Asoy Geboy". Seolah tak bisa pula ditawar-tawar lagi, sosok film komedi yang terkesan "ngeres" ini, mengentalkan pamer kemontokkan dada dan kemulusan paha pemainnya dalam busana minim.

Formula komedi seperti itu mengingatkan kembali cerita kejayaan Ariza], sutradara yang memasangkan sukses film banyolan slapstick berbintangkan Warkop DKI (Dono, Kasino, dan Indro). Sutradara H. Encep Masduki yang dikenal menguat di kancah sinetron pun, pernah mengemas judul menggoda penonton dengan "Kau di Atas Aku di Bawah" tayangan Indosiar (2002), yang mencoba menggosok lagi pamor empat bintang laris dekade 80-an, H. Rano Karno, Yessy Gusman, Lydia Kandou, dan Herman Felani. .
Namun, siasat itu belum mampu memutarkan baling-baling tema sinetron dari drama berkepanjangan yang membosankan. Tahun 2008, sang sutradara penghadir lakon "Cinta Fitri" itu terpanggil mewarnai film komedi bertajuk "SMS" ("Suka Ma Suka"). Hasil yang dicapai dari karya filmnya, memang tidak setajam kepopuleran lagu "SMS"! Apa pun kenyataannya, kehadiran Encep Masduki dalam perwajahan film komedi, menjanjikan penebaran warna yang dibutuhkan untuk menata martabat film
komedi.

Pasalnya, Encep punya keteguhan prinsip, "Saya paling enggak suka komedi sableng. Dagelan yang hanya asal bisa bikin penonton tertawa, tanpa ada muatan apa-apa," katanya dalam per-jumpaan di Bogor. Syukur, masih ada sutradara kekinian, yang mau peduli dengan takaran kualitas di balik genre komedi. Suatu kekuatan sikap kerja, yang berdaya cubit kritikan tajam untuk para penggarap lakon film komedi.
Itu juga harapan, yang acapkali menggelisahkan pemikiran kritis masyarakat penontonnya, ketika muncul sejumlah film komedi sekadar banyolan di antara pameran gambar vulgar. Memang, selepas sukses pasar film komedi Warkop DKI, perfilman nasional seolah tengah kembali berproses untuk menyusuri jejak kejayaan yang hilang. Ini dicerminkan dari kehadiran film-film komedi "Preman Kucing Garong", "Kawin Laris", Tarix Jabrix", "Tulalit", "Kawin Kontrak Lagi", "Setannya Kok Bener?", "Wakil Rakyat" maupun "Calo Presiden".

Kemiskinan kreasi Nasib perwajahan film komedi, sangat terkesan dibebani kejaran sukses komersial. Dibandingkan dengan jenis film lainnya, film bermerek komedi senantiasa dipersaingkan dengan nafsu bisnis produsernya, untuk memenangkan rebu-
tan pasar. Bisa dipahami, jika -terkem-bang mitos dalam bisnis film, yang memaknai tema komedi sebagai janji limpahan keuntungan. Suatu film komedi, minimal diyakini bisa cepat kembali modal.
Kalaupun begitu, perfilman nasional masih layak berharap banyak selepas film "Tri Mas Getir". Sedikitnya, lakon komedi garapan Rako Prijanto yang dijual di balik judul film itu, berharga "tampil beda". Tidak hanyut dengan formula judul asal menggoda tawa. Aktualitas penceri-taan pun diwarnai perguruan wushu. Mungkin, keberanian "Tri Mas Getir", terdukung dengan daya jual Tora Sudiro, Titi Kamal, Cut Mini, Indra Birowo, dan Vinsen.

Keberadaan "Tri Mas Getir", boleh jadi terhitung keberanian langka dalam tema komedi. Terbukti, keragaman tema dalam kebangkitan film nasional, yang terdukung kemajuan teknis modern bersama lejitan reputasi sederet sutradara andal generasi baru, masih saja dihadapkan pada tantangan kelahiran para pembuat film komedi berkelas jempolan. Ini berkait dengan jerat keterbatasan, dalam pengadaan materi cerita dan skenario, yang sejak lama berkembang sebagai permasalahan klasik.
Terlebih, karena sutradara film komedi berkelas jempolan, masih hanya bertumpu pada suatu nama, alm. Nyak Abbas Akup. Legenda sukses filmnya terbingkai sejak kejayaan Perfini, dengan film-film seperti "Heboh", "Djuara 60". Tiga Buronan", "Mat Codet", "Mat Do-wer",hingga berlanjut dalam kejutan pasar film komedi "Ambisi", "Bing Slamet Koboy Cengeng" sampai ketajaman sukses Doris Callebaut dari film "In-em Pelayan Sexy"(i977).

Kisah sukses komedi gaya Nyak Abbas Akup, yang diwarnai film "Kipas-Kipas Cari Angin", "Cintaku di Rumah Susun" hingga "Boneka dari Indiana" itu, sampai kini mengkristal dalam tanya dan penantian panjang. Film komedi tak harus selalu menjual banyolan enteng. Tidak mesti identik dengan adegan pamer paha dan dada wanita. Banyak karya Nyak Abbas Akup yang layak jadi cermin bening untuk menata kembali perwajahan film komedi.
Di balik reputasi alm. Nyak Abbas Akup, sebut pula nama alm. Drs. H. Asrul Sani, yang memiliki kekuatan lain di bidang penulisan cerita dan skenario film komedi. Dari bangunan karyanya, berbuah sukses film seperti "Kejarlah Daku Kau Kutangkap" garapan Chaerul Umam, atau "Naga Bonar" karya M.T. Risyaf (1987). Bahkan sepeninggal Asrul Sani, sukses "Naga Bonar Jadi 2" karya H. Deddy Mizwar pun, belum menandingi kentalnya komedi terdahulu.

Namun, sukses pasar kedua film "Naga Bonar", masih mampu merebut penghargaan bergengsi, dengan pengakuan predikat "Film Terbaik" di Festival Film Indonesia (FFI) 1987 Jakarta dan FFI 2007 Riau. Dalam kelangkaan film komedi bermartabat tinggi, agaknya Deddy Mizwar pantas diperhitungkan untuk jadi penerus sutradara lakon komedi pujian, yang tercermin dengan kejutan sukses film komedi religi seperti "Kiamat Sudah Dekat". Film yang dikemas ulang ke dalam sinetron itu, bersambut dengan lakon "Para Pencari Tuhan".
Sampai kini, terbukti sukses Deddy Mizwar tak mampu menyuburkan tema komedi pujian. Justru, perwajahan film komedi kembali tersekap ke dalam kemiskinan kreasi, yang dibebani target keunggulan bisnis. Ini dimaknai, bahwa martabat film komedi unggulan, hanya akan lahir dari keunggulan kolektif atas dukungan aspek filmisnya. Termasuk, niat baik dari pemilik modal. Sejarah lama bersaksi, film komedi satire "Intan Berduri" karya alm. Turino Junaedi, membuat kejutan fantastis di pentas FFI 1973 Jakarta.
Bamiiv,(..id itu penegasan tentang sosok film komedi, yang tidak sekadar menggelitik tawa penontonnya dengan banyolan konyol! Film "Intan Berduri" mampu mencuatkan pasangan Aktor/Aktris Terbaik, untuk alm. H. Benyamin S. dan Rima Melati. Celakanya, citra keaktoran Benyamin menerbitkan gunjingan sumbang, menyusul kesuksesannya sebagai bintang laris dalam film banyolan Betawi. Akan tetapi, empat tahun kemudian, film "Si Doel Anak Modern" dari alm. Drs. Syumanjaya, kembali menggosok pamor Benyamin sebagai "Aktor Terbaik" di FFI 1977 Jakarta.

Film komedi menghangatkan persaingan pasar film nasional dekade 70-an, saat kelompok lawak Kwartet Jaya (Bing Slamet, Ateng, Iskak, dan Eddy Soed) berjaya sejak film serial "Bing Slamet Setan Jalanan" (1972) karya ahn. Ch. Hasmanan. Sejumlah film komedi gaya alm. Nawi Ismail, lalu menajamkan daya saing pasar film, yang memperdagangkan serial Benyamin. Iklim industri film banyolan diwarnai lagi dengan serial Ateng, hingga berbayang sukses Warkop DKI.
Rebutan pasar film banyolan ringan makin membakar suhu produksi, yang terdorong ambisi memboyong Piala An-temas sebagai lambang film terlaris di FFI. Tetapi, sejak FFI 1985 Bandung, diberlakukan aturan kategori pemenang film terlaris, hanya dari film yang terjaring unggulan FFI. Itu ditempuh sebagai bentuk pembinaan, agar film pemburu Piala Antemas bukan lagi film berdaya komersial tanpa keunggulan aspek filmis. Selayaknya, tema komedi dalam iklim kebangkitan film nasional pun, bersaing menjejaki kejayaannya yang hilang ***

Yoyo Dasriyo
http://bataviase.co.id 
Share