Senin, 21 Maret 2011

Membaca Indonesia dari Film dan Sinema Indonesia


Membaca Indonesia dari Film dan Sinema Indonesia

Perkembangan film Indonesia mengalami pasang surut yang menarik untuk diamati, karena didalam pasang surut film Indonesia inilah terjadi relasi yang kuat antara film dan sinema sebagai bentuk kebudayaan dengan institusi politik yang berkuasa di masanya. Sejak film masuk ke Indonesia di awal abad19 M, berbagai kisah manis dan pahit terjadi dalam relasi film dan sinema dengan penguasa politik yang memegang kendali kuasa di masanya.

Film, saat baru masuk ke Indonesia, menjadi saksi kolonialisme yang melanda nusantara. Dipertengahan abad 19 M, film menjadi saksi mata dari pergolakan kemerdekaan yang disertai dengan revolusi fisik. Film kembali menjadi saksi mata dalam kerusuhan sosial dan politik di tahun 1965-1966 sebagai akibat pemberontakan yang konon dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Di masa Orde Baru, film dan sinema secara efektif dikontrol oleh pemerintah, baik secara kelembagaan maupun substansinya, sehingga film di masa ini tidak ubahnya sebagai corong propaganda atas nama pembangunan yang menjadi matra pemerintahan Orde Baru. Film juga menjadi saksi mata atas kejatuhan pemerintahan Orde Baru setelah digoyang serangkaian unjuk rasa massif berlabel reformasi. Film dan sinema Indonesia kemudian mengalami perubahan secara kelembagaan maupun substansi. Di masa kolonialisme, film dating ke Indonesia pada awal tahun 1900-an dengan didominasi film-film dari Dunia Pertama (First World) yaitu Eropa dan Amerika Serikat. Baru pada pertengahan dekade1920-an saat jumlah gedung sinema telah mencapai angka 13, film untuk kali pertama dibuat di Indonesia.

Kemudian film tidak lagi menjadi monopoli kota besar seperti Jakarta dan sekaligus hanya menjadi hiburan milik kaum borjuasi, karena film kemudian diputar dalam berbagai pertunjukan di tanah lapang. Model pemutaran ini kemudian dikenal sebagai misbar (gerimis bubar), sebuah bentuk layar sinema yang berkeliling layaknya sirkus keliling. Model inilah yang berhasil menjangkau khalayak luas, bahkan mampu
menyapa penduduk pribumi yang buta huruf, karena memang menonton film berbahasa lokal tidak mewajibkan penontonnya melek huruf. Atas pertimbangan inilah kemudian pemerintah colonial Hindia Belanda mendirikan Komisi Film Hindia Belanda dan menjadikannya sebagai institusi tunggal yang mengatur film dan sinema. Komisi yang berada di bawah Departemen Dalam Negeri pemerintah kolonial ini sekaligus menjadi awal dari kelahiran lembaga sensor dan serempak mewariskan tradisi sensor ke
generasi sesudahnya (Sen,1994:13).

Di masa kemerdekaan, euphoria kemerdekaan mewarnai dunia perfilman Indonesia. Secara kuantitas produksi film mengalami kenaikan secara pesat, dari hanya 6 film pada tahun 1949 menjadi 22 film di tahun 1950 dan 58 di tahun 1955 (Sen,1994:19). Isu dan wacana nasionalisme serta patriotisme menjadi substansi kuat dari film di masa ini. Dalam tataran praksis sosial, nasionalisme ini diwujudkan dalam gerakan menasionalisasi gedung sinema dan perusahaan film, sekaligus menggulirkan film yang
“benar-benar” Indonesia.

Sosok Usmar Ismal menjadi tokoh utama dalam pengguliran sinema nasional di masa keriuhan suka cita kemerdekaan ini. Bersama dengan beberapa koleganya, Usmar Ismal mendirikan Perusahaan Film Nasional (Perfini). Dengan modal yang terbatas, Perfini memproduksi film pertama berjudul Darah dan Doa pada bulan Maret 1950.
Perfini sempat menghentikan produksi film ini karena kekurangan pendanaan, namun kemudian produksi bisa berlangsung setelah seorang pengusaha keturunan China
bernama Mr. Thong memberikan bantuan keuangan untuk proses produksi. Bantuan terhadap produksi film ini juga mengalir dari perwira Divisi Siliwangi, karena memang cerita film yang berlatar belakang longmarch Divisi Siliwangi pada masa revolusi kemerdekaan (Sen,1994:21).

Relasi antara institusi militer dengan industri film sebagaimana yang terjadi dalam proses produksi film Darah dan Doa sebenarnya bukan hanya fenomena khas dalam industri film di Dunia Ketiga seperti Indonesia dimana faktor modal sering kali menjadi penghambat dalam proses produksi film. Di Hollywood, sebagai sebuah representasi industri film di Dunia Pertama yang sebenarnya tidak mengalami hambatan modal yang berarti, relasi antara institusi militer dan industri film sudah lama mutualisme bagi keduanya.

Pemerintahan Ronald Reagen di tahun 1980-an bahkan memberikan insentif secara massif kepada produsen film Hollywood yang bersedia memproduksi film yang mendorong patriotisme dan kebijakan pemerintah Amerika Serikat, seperti bantuan yang diberikan dalam produksi film Top Gun. Film ini konon diproduksi sebagai bentuk promosi pemerintah dan militer negara tersebut untuk menjaring anak muda
masuk akademi militer (Kellner,1996:67).

Patriotisme Amerika ini kemudian diekspor ke berbagai belahan dunia lain, termasuk Indonesia. Penonton film di Indonesia, sebagaimana terjadi di banyak negara Ketiga lainnya, diguyur dengan berbagai film produksi Amerika Serikat terutama Hollywood. Di saat usia republik ini masih belia, para pelobi dari Hollywood datang dengan paket bantuan teknis bernama Technical Cooperation Administration
(TCA) di tahun 1950 dengan nilai bantuan sebesar lima ratus ribu dollar Amerika. Tentu saja bantuan ini tidak ikhlas diberikan karena sebagai gantinya kran impor film Hollywood secara massif dibuka melalui kontrol monopoli yang dilakukan oleh American Motion Picture Association in Indonesia (AMPAI).

Beberapa laporan terpercaya menunjukan bahwa 600 sampai dengan 700 film Amerika masuk ke Indonesia sepanjang tahun 1950 sampai dengan 1955 (Sen,1994:25).
Di masa selanjutnya, gempuran dahsyat film Hollywood ini telah menggulung industri film Indonesia di tahun 1990-an, dimana produksi film nasional mengalami kemerosotan yang menyedihkan. Di masa suram ini, produksi film setiap tahun bisa dihitung dengan jari tangan dan atas sebab ini Festival Film Indonesia (FFI) mati suri untuk sesaat.

Di masa Orde Baru, dimana kapitalisme semu (ersatz capitalism) menjadi corak kapitalisme yang secara tidak sadar dianut oleh penguasa politik di masa ini, industri film juga tidak lepas dari intervensi penguasa sebagaimana selalu ada kolaborasi antara pemodal dan pemerintah dalam kapitalisme semu.

Pemerintah Orde Baru mengawali kiprahnya dengan menyokong secara penuh beberapa film yang berlatar belakang penumpasan pemberontakan G-30-S/PKI, seperti film Operasi X di tahun 1968. Jika di masa Orde Lama keberadaan AMPAI acapkali menjadi sasaran kecaman dan demonstrasi, karena dianggap sebagai antek neo-imperialisme, maka di masa Orde Baru kondisinya berbalik 180 derajat. Angin besar berupa unjuk rasa dari para demonstran berganti menjadi angin sejuk berupa
dukungan dari pemerintah tanpa ada perlawanan berarti dari kaum oposisi. Film-film Hollywood kemudian merajai layar gedung sinema dan puncaknya adalah di masa akhir kekuasaan orde ini, di mana film Indonesia menjadi makhluk asing di rumah sendiri.
Dominasi film Hollywood ini tidak hanya secara kuantitas, namun secara kualitas menimbulkan mimikri pascakolonial. Konsep mimikri merujuk pada peniruan budaya yang dilakukan oleh aktor budaya di Dunia Ketiga terhadap representasi budaya yang ditampilkan oleh Dunia Pertama. Ide-ide film Hollywood yang menampilkan kelas dominan di masyarakat sebagai sosok pahlawan juga ditiru oleh film Indonesia yang selalu menampilkan kelompok sosial dominan sebagai pahlawan Tidak aneh juga jika di masa Orde Baru, gagasan yang dimunculkan dalam film selalu berkutat pada wacana kelas dominan dan tentu saja merupakan ide yang menjadi arus dominan (mainstream) di masyarakat. Jarang sekali film menampilkan gagasan yang berbeda, memihak kelompok subaltern dan sekaligus membela kelas marginal. Ide pembangunan pun selalu muncul dalam berbagai film Indonesia di masa Orde Baru.

Layaknya sirkus keliling, pemerintah di masa ini memutar film dalam sinema keliling di tanah lapang untuk ditonton oleh masyarakat. Tentu saja film-film yang diputar adalah film kepahlawanan yang menarasikan tentang militer yang membela kedaulatan bangsa, atau jika tidak adalag film-film yang benar-benar fiksi tanpa ada unsur pembelaan terhadap kaum subaltern. Film-film horor yang dibintangi Suzanna dan film-film silat yang dibintangi oleh Barry Prima menjadi menu yang sering disuguhkan ke masyarakat
dengan diselingi iklan-iklan tentang program transmigrasi dan keluarga berencana.

Film dan sinema sebagai bentuk budaya populer dalam masa ini terartikulasikan sebagai budaya massa yang afirmatif, sekaligus mengalienasi khalayak dari realitas hidup sesungguhnya. Dalam masa Orde Baru, Badan Sensor Film (BSF) menjadi momok yang menakutkan. Badan ini memiliki kewenangan penuh untuk melakukan sensor terhadap film dan produk budaya lain yang menjadi turunannya, termasuk iklan film, baliho dan pamflet, terancam dengan gunting sensor yang menakutkan.

Isu yang sering mengemuka dalam sensor adalah isu seksualitas dan pornografi, seperti yang terjadi tatkala film Pembalasan Ratu Laut Selatan yang dibintangi bom seks di era dekade 1980-an, Yurike Pratisca, menunai kontroversi hebat. Era ini memang bisa dianggap sebagai sorga film-film yang dianggap porno, setidaknya menurut BSF selama tahun 1984/1985, dari 60 judul film yang diproduksi 44 diantaranya harus menerima gunting sensor karena alasan pornografi (Lesmana,1995:7).

Kuasa gunting sensor bukan hanya berada di Jakarta, namun juga menyebar ke daerah.
Pemerintah mendirikan Badan Pembinaan Perfilman Daerah (Bafida) yang berfungsi mengawasi peredaran film dan bentuk budaya turunannya yang dianggap tidak sesuai dengan norma yang dipercayai oleh pemerintah. Akibatnya standar ganda bisa terpatik dari keberadaan Bafida. Di Yogyakarta, beberapa poster film diturunkan secara paksa oleh Bafida pada dekade 1970-an, setelah “mendengar keluhan
masyarakat”, padahal di daerah lain poster dan baliho film tersebut tidak menjadi persoalan. Alasan yang dikemukakan oleh penguasa selalu alasan pornografi. Padahal jika ditelisik dari sejarahnya, gunting sensor sebenarnya bukan berasal dari persoalan
seksualitas dan pornografi, namun karena alasan yang lebih bernuansa politis. Adalah film Darah dan Doa menjadi titik awal dari sensor, ketika film yang berlatar belakang long march Divisi Siliwangi ke Jawa Tengah dan Jawa Timur pada pasca Perjanjian Renville, diprotes oleh beberapa perwira Divisi Siliwangi karena dianggap tidak menampilkan perjalanan long march divisi ini sebagaimana mestinya, sehingga di
beberapa daerah film ini dilarang diputar.

Orde Baru secara efektif menjadikan film sebagai media propaganda dengan mendirikan institusi yang mengatur industri dan distribusi film dan sinema. Sebagai bentuk konsolidasi terhadap industri film, pemerintah Orde Baru mendirikan Lembaga Perfilman Nasional (Lepfinas) di masa Menteri Penerangan
Mashuri pada tahun 1970. Lembaga ini kemudian mengalami inkorporasi lebih kuat oleh pemerintah, ketika pemerintah Orde Baru mengubahnya menjadi Dewan Film yang diketuai oleh menteri penerangan secara ex-officio (Sen,1994:53).

Fasisme Orde Baru semakin terlihat dengan film-film yang diproduksi yang selalu menampilkan epik kepahlawanan militer, terutama Presiden Soeharto saat masih aktif di militer. Pengkianatan G-30-S/PKI menjadi ikon paling penting dalam dramaturgi sosok Soeharto sebagai pahlawan. Film pertama yang menokohkan Soeharto sebagai pahlawan adalah film Janur Kuning yang diproduksi pada tahun 1979 dengan biaya sekitar 385 juta rupiah, sebuah anga fantastis karena produksi film di masa tersebut
umumnya hanya memakan dana 200 juta rupiah (Sen,1994:91). Film yang bercerita tentang Serangan Umum 1 Maret 1949 ini bercerita tentang kepahlawanan Soeharto yang masih berpangkat kolonel dalam menguasai Kota Yogyakarta selama enam jam, menyingkirkan peran Sri Sultan Hamengkubuwono IX, raja Kerajaan Yogyakarta di masa tersebut dan Jenderal Soedirman, panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang dikenal luas sebagai sosok jenius dalam strategi perang gerilya.


Film setelah Reformasi

Di luar dugaan banyak kalangan, pemerintah Orde Baru akhirnya harus ambruk ketika gelombang unjuk rasa mahasiswa menggoyang pemerintahan ini. Jatuhnya Orde Baru terjadi saat film Indonesia sedang terpuruk juga. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia menyebabkan biaya produksi film melonjak tajam apalagi beberapa pasca produksi film masih harus dilakukan di luar negeri karena keterbatasan teknologi di Indonesia. Di saat yang bersamaan kemampuan khalayak untuk membeli tiket bioskop juga merosot drastis. Praktis hanya film-film komedi Warkop yang masih rutin menyapa penonton sinema Indonesia di masa transisi kekuasaan Orde Baru. Di saat yang bersamaan, perkembangan televisi swasta dalam dunia penyiaran Indonesia telah memberikan pilihan baru bagi khalayak untuk menikmati hiburan baru tanpa ke bioskop. Sinema eletronik yang lazim diakronimkan sebagai sinetron menjadi bentuk baru dalam film dan sinema Indonesia yang dibuat khusus untuk ditayangkan di televisi, menyaingi film seluloid yang ditayangkan di gedung sinema.

Di masa sekitar suksesi ini juga, teknologi digital berkembang secara pesat dengan berbagam implikasi bagi ranah film dan sinema Indonesia.
Dalam sudut pandang negatif, teknologi digital terutama dalam bentuk cakram video compact disc (VCD) berkembang pesat. Berbeda dengan pita video VHS dan Betacam yang tidak sedahsyat VCD, teknologi cakram digital menjangkau sampai pelosok desa dengan harga yang sangat murah. Akibatnya film Indonesia yang harus ditonton dengan membeli tiket bioskop semakin dijauhi penonton. VCD bajakan merajalela, semakin meminggirkan film Indonesia dari ranah publik. Dari sudut pandang positif, teknologi memungkinkan produksi film secara digital dilakukan dengan biaya yang murah. Handycam dan kamera digital semakin murah dan teknologi editing dapat dilakukan
secara murah dengan perangkat komputer multimedia. Perangkat lunak untuk editing juga tersedia di pasar, memungkinkan film diproduksi bukan hanya oleh kalangan industri film maupun pemerintah sepertidi masa Orde Baru, namun juga oleh komunitas film. Komunitas film, terutama mengambil nama Kine Klub, tumbuh bak jamur di musim hujan di berbagai perguruan tinggi. Di tengah kekosongan film Indonesia di masa akhir Orde Baru dan awal reformasi, produksi film oleh komunitas film yang kemudian disebut film indie melonjak tajam. Kompetisi film indie mengiringi berbagai acara pemutaran film indie di berbagai kampus. Komunitas film indie kemudian menyebar bukan hanya berbasis kampus, namun kemudian bersifat lintas kampus.
Di tengah ketidakpedulian pemerintah terhadap perkembangan komunitas film indie ini, komunitas film indie membuktikan mampu eksis dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Kekurangan dari segi pembiayaan mampu tertutupi dengan semangat yang lebih dari aktivis film indie.

Kata 'indie' dalam proses produksi film bisa diartikulasikan dalam berbagai konteks. Pertama, kata ini merujuk kepada proses produksi film yang didanai sendiri tanpa ada bantuan dana dari pihak lain, sehingga dalam manajemen produksi terbebas dari pengaruh pihak lain. Kedua, kata ini merujuk kepada perlawanan terhadap mayor label, sebagaimana yang sering dipahami dalam konteks musik indie di dunia Barat. Jika memang indie merupakan oposisi biner, maka gagasan film indie adalah gagasan yang
membela kelompok subaltern dan subkultur yang selama ini terpinggirkan dari wacana dominan dalam film-film mayor. Kebaruan gagasan yang dibawa oleh semangat indie ini merasuk dalam film Indonesia di masa reformasi. Ada Apa dengan Cinta (AAdC), sebuah film remaja yang romantis yang meledak di pergantian milenium, menjadi petanda dari kebangkitan gagasan terhadap kelompok pinggiran yang terkucil secara
politis dan kultural. Film yang menceritakan kisah cinta antara Rangga dan Cinta ini dibumbui keterusiran orang tua Rangga dari Indonesia karena dianggap memberontak oleh pemerintah yang berkuasa. Sebuah kisah eksil dari warga negara Indonesia yang terusir dan tidak bisa kembali ke Indonesia setelah tragedi
tahun 1965. Ide tentang nasionalisme juga tidak lagi menjadi monopoli tentara dan pemerintah sebagaimana terjadi di masa Orde Baru. Film Garuda di Dadaku menarasikan nasionalisme anak-anak di atas lapangan hijau sepakbola. Sebuah narasi yang jauh berbeda dengan film berlatar belakang nasionalisme di masa
Orde Lama dan Orde Baru yang menempatkan matra nasionalisme sebagai habitus militer dan pemerintah. Layaknya yang terjadi di masa Orde Baru, komodifikasi seksualitas berbalut dengan mistik kembali mengemuka dalam film Indonesia generasi pasca reformasi. Sebagaimana yang terjadi di masa lalu juga, penolakan terhadap pornografi kembali mengemuka. Kontroversi film Virgin, di tahun 2004 menjadi salah
satu puncak persoalan pornografi dalam film dan sinema Indonesia. Claudia Sinta Bella, Ardina Rasti, Julia Perez menjadi bintang baru menggantikan Suzanna dan Yurike Pratisca.

Komodifikasi menggejala bukan hanya pada ranah seks namun bergerak secara massif ke dalam ranah religi. Film-film religi seperti Ayat-ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih mencatat sukses besar dalam perolehan angka penonton. Memang di masa lalu film bertema religi juga pernah dibuat seperti Al Kautsar, Robohnya Surau Kami dan Wali Songo, namun ketiganya tidak mampu menggerakan jutaan penonton sebagaimana Ayat-ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih. Yang menarik, tema nasionalisme bukan lagi menjadi milik militer dan penguasa politik
sebagaimana yang direpresentasikan dalam film-film di masa Orde Baru yang menempatkan seragam militer sebagai simbolisasi nasionalisme. Nasionalisme bisa menjadi habitus sekelompok anak kecil sebagaimana yang bisa dilihat dalam film Garuda di Dadaku dan King, atau nasionalisme yang dimiliki masyarakat kelas bawah seperti yang dinarasikan dalam Nagabonar Jadi Dua.
Di tengah perkembangan tema dalam film Indonesia ini, dunia film dan sinema Indonesia dihadapkan pada kontroversi regulasi di bidang perfilman. Rancangan Undang-undang (RUU) Perfilman menjadi kontroversi hebat di tahun 2009, melibatkan perdebatan panjang antarpelaku dalam ranah industri film. Namun yang perlu diapresiasi adalah film Indonesia telah bangkit dari mati surinya seiring dengan reformasi.

Fajar Junaedi


Daftar Pustaka
Lesmana, Tjipta (1994). Pornografi dalam Media Massa. Jakarta, Puspa Swara
Kellner, Douglas (1996). Media Culture, Identity and Politics between Modern and Posmodern. New York,
Routhledge

Biodata Penulis
Fajar Junaedi lahir di Madiun pada tanggal 20 Mei 1979. Menamatkan pendidikan sekolah dasar sampai dengan sekolah menengah atas di kota kelahirannya. Kemudian menempuh pendidikan sarjana ilmu komunikasi di Universitas Diponegoro dan magister ilmu komunikasi di Universitas Sebelas Maret. Sejak tahun 2003 bergabung menjadi staf pengajar di Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Selain itu juga mengajar pada disiplin ilmu yang sama di Universitas Muhammadiyah Surakarta, Universitas Islam Indonesia dan Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Film yang pernah disutradarinya adalah Derby Mataram (2009), sebuah film dokumenter tentang suporter sepakbola di Yogyakarta dan Solo. Buku yang ditulisnya terbit di tahun 2005 berjudul Komunikasi Massa: Pengantar Teoritis, serta beberapa buku yang ditulis bersama dengan kolega dan mahasiswa yang diampunya, seperti
Sampah Pariwara Indonesia, Teroris Iklan, Uppss Pengen : Ketika Perempuan Tidak Dimaknai dengan Bijak, Hitam Putih Media, Behind the Sex, Internet Invation, Menenjangi Film Indonesia, Komunikasi Politik dari Lapangan Hijau sampai Senayan serta Media dan Komunikasi Politik di Indonesia. Juga aktif menulis di berbagai jurnal dan media massa populer dalam bentuk opini di koran. Aktif membina majalah digital Ikom Digimagz dan kelompok fotografi Fotka Ikom (Fotografi Kampus Ilmu Komunikasi) serta dan menjadi redaktur jurnal komunikasi Komunikator. Tulisan ini dimuat dalam buku ”Menelanjangi Film Indonesia”, diterbitkan Lingkar Media 2009
Share