Selasa, 22 Maret 2011

Lagu dalam Soundtrack Film Indonesia


Yang membekas di benak penonton adalah adegan yang dilatari komposisi lagu.Dengan tergesa-gesa Dwi dan Sri berlari meninggalkan rumah, meninggalkan Pak Lik, sang suami yang beristri empat, tanpa pesan sama sekali. Mereka sepakat meninggalkan keruwetan rumah tangga yang unik itu. Adegan film Berbagi Suami yang dibesut Nia di Nata ini dilatari lagu lawas karya Iskandar Pergi tanpa Pesan yang di-remake grup band Sore.


Adegan itu terasa kontekstual dengan soundtrack lagunya, meskipun berbeda era. Tak ada kesan pemaksaan. Dan secara keseluruhan soundtrack film itu memang tidak mengintimidasi, melainkan menjadi bagian yang sinergis dari film.

Idealnya sebuah soundtrack memang seperti itu. Antara adegan atau setting film dan music score bersimbiosis mutualisme. Tegasnya, harus kawin. Album Berbagi Suami (Aksara Records), yang mengetengahkan music score dan sederet lagu, bisa dianggap satu contoh yang bagus untuk soundtrack film Indonesia saat ini.

Sejak bangkitnya perfilman Indonesia pada 1997 lewat film Kuldesak, album soundtrack menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan film. Kini hampir semua film Indonesia memiliki album soundtrack. Tidak semuanya berhasil, baik dalam penjualan maupun kualitas. Ada yang gagal secara komersial, tapi istimewa dalam sisi musikal. Ada juga yang berkesan asal-asal, tapi laris manis di pasar.

Aquarius Musikindo tercatat sebagai perusahaan rekaman yang banyak merilis album soundtrack. Selain soundtrack Kuldesak, yang lain misalnya Ada Apa dengan Cinta?, Eiffel, I'm in Love, Tentang Dia, Apa Artinya Cinta, dan Dealova. Menurut Meidi Ferialdy dari Aquarius, dari semua album soundtrack yang dirilis, Ada Apa dengan Cinta? yang digarap pasangan Melly Goeslaw dan Anto Hoed terjual sekitar 700 ribu keping serta album Dealova terjual sekitar 250 ribu keping.

Dari Sony BMG Indonesia hadir Rumah Ke Tujuh, Tusuk Jelangkung, 30 Hari Mencari Cinta, Brownies, Gie, Cinta Silver, dan Vina Bilang Cinta. "Soundtrack produksi Sony BMG yang berhasil dalam penjualan adalah 30 Hari Mencari Cinta, sekitar 500 ribu keping," ungkap Jan N. Djuhana dari Sony BMG. Album soundtrack yang unggul secara musikal, seperti Gie, malah gagal dalam pemasaran. "Album Gie memang untuk masyarakat luas terasa berat," Jan menambahkan.

Pihak Miles Film malah merilis Gie dengan menampilkan music score yang digarap dalam bentuk chamber music oleh Thoersi Agreswara, penata musiknya. "Sebetulnya kami ingin juga menampilkan music score, tapi pihak major label tidak berkenan dengan alasan sulit dijual. Akhirnya kami memutuskan untuk merilis music score Gie walau tidak dalam jumlah banyak," kata Mira Lesmana, produser Gie.

Tak bisa dimungkiri, masyarakat kita memang belum terbiasa menyimak music score secara utuh seperti di mancanegara. "Kami menyadari hal itu, makanya dalam album soundtrack Berbagi Suami diambil solusi menampilkan lagu dan score," tutur Nia di Nata.

Addie M.S. bisa dianggap beruntung karena album soundtrack film Biola Tak Berdawai, yang disutradarai Sekar Ayu Asmara, dirilis oleh Warner Music Indonesia dengan 90 persen isinya music score yang dimainkan Victorian Philharmonic Orchestra Australia. Dan, seperti bisa ditebak, album Biola Tak Berdawai memang gagal dalam penjualan.

Kejadian seperti itu semakin menguatkan opini bahwa wujud sebuah lagu dalam album soundtrack masih memegang takhta dibanding music score. Bahwa yang membekas di benak penonton setelah menonton film adalah kelebat adegan yang dilatari komposisi lagu.

Dan itu telah berlangsung sejak dulu. Dalam film Menanti Kasih (1949), yang disutradarai Mohammad Said H.J. dengan pemeran utama A. Hamid Arief dan Nila Djuwita, penonton dipastikan lebih mengenang theme song-nya, Menanti Kasih, yang dinyanyikan Bing Slamet.

Tradisi film dengan menghadirkan sederet lagu sebagai soundtrack terlacak pada film Terang Boelan (Het Eilan der Droomen), yang dibintangi Roekiah dan Rd. Mochtar. Dalam buku Katalog Film Nasional yang disusun J.B. Kristanto tercatat bahwa film Pantjawarna (1941), yang dibintangi Dhalia dan Mochtar Widjaja, diiringi 12 lagu keroncong yang sedang hit. Film itu juga dianggap sebagai film musikal pertama di negeri ini. Film-film lain yang pantas dicatat adalah Asmara Dara (1958) dan Tiga Dara (1956), garapan sineas Usmar Ismail dan musiknya oleh Syaiful Bachrie.

Memasuki 1970-an mulai bermunculan album-album soundtrack yang didominasi oleh Idris Sardi, antara lain Dunia Belum Kiamat (1971) yang oleh Nyak Abbas Akup (sang sutradara) disebut sebagai operette pop, Pengantin Remaja (1971) yang theme song-nya dianggap mirip Love Story-nya Francis Lai, Cinta Pertama (1973) dengan penyanyi Anna Mathovani dan Broery Marantika, Cinta (1975) dengan penyanyi Marini dan Idris Sardi, dan masih sederet panjang lagi.

Idris Sardi memiliki kekuatan menggarap soundtrack bertema romansa dan drama. Dengan gesekan biolanya yang khas, dia pada akhirnya mencuatkan tipikal dalam penggarapan karya-karya lagunya yang cenderung mellow dan sarat harmoni minor, misalnya pada lagu Cinta Pertama, Satu-Satu, dan Musim Bercinta pada film Cinta Pertama, lagu Christina untuk film Christina (1977), atau lagu Karmila untuk film Karmila (1974).

Lalu ada juga album soundtrack yang digarap A. Riyanto, seperti Akhir Sebuah Impian (1973), yang menampilkan penyanyi Emillia Contessa, Broery Marantika, dan Benyamin S. Juga soundtrack Kasih Sayang (1974) dengan penyanyi Broery Marantika, Tanty Josepha, dan Titiek Sandhora, Romi dan Juli (1974) dengan penyanyi Tanty Josepha dan Rano Karno.

Pada 1980-an, soundtrack film-film remajalah yang bertakhta. Setidaknya album soundtrack sekuel film Catatan Si Boy menjadi hit dengan lagu-lagu seperti Theme Song Catatan Si Boy, yang dibawakan Ikang Fawzy, hingga Emosi Jiwa, yang dilantunkan Yana dan Lita. Juga soundtrack film Gita Cinta dari SMA dan Puspa Indah Taman Hati, yang menampilkan lagu-lagu karya Guruh Soekarno Putra yang dinyanyikan Chrisye.

Namun, album soundtrack yang tak lekang dimakan zaman adalah Badai Pasti Berlalu (1977) garapan Eros Djarot dan didukung penyanyi Chrisye dan Berlian Hutauruk. Album ini dianggap tonggak pencapaian estetika baru dalam musik pop Indonesia. Sejak dirilis pada 1978, album produksi PT Irama Mas ini terus dicetak ulang. Tak ada data yang akurat perihal penjualannya. Tapi tak berlebihan jika album yang pada 1999 direkonstruksi ulang dengan aransemen garapan Erwin Gutawa ini dianggap sebagai album soundtrack fenomenal hingga kini.

Denny Sakrie, pengamat musik

http://mellowtone.multiply.com 
Share