Minggu, 20 Maret 2011

Sunda dalam Film Indonesia

PERMULAAN tahun 190, di Bandung berdiri perusahaan film NV Java Film Company yang didirikan L. Heuveldorp dan G. Krugers. Pada awalnya, perusahaan film tersebut banyak membuat film dokumenter. Tetapi pada tahun 1926, NV Java Film Company mulai membuat film cerita berdasarkan cerita rakyat Sunda "Loetoeng Kasaroeng". L. Heuveldorp yang menjadi sutradara merangkap produser, sedangkan G. Krugers menjadi penata kamera. Film "Loetoeng Kasaroeng" diputar pertama kali di Elita dan Oriental Bioscoop, Bandung.

Setelah film "Loetoeng Kasaroeng", Heuveldorp tidak kedengaran aktivitasnya lagi, sedangkan G. Krugers pada tahun 1927 mendirikan perusahaan film sendiri Krugers Filmbedrijf. Produksi filmnya, antara lain "Eulis Atjih", "Karnadi Anemer Bangkong", "Atma deVisser" (Nelayan Atma), dan "Terpaksa Menikah". Film "Eulis Atjih" dan "Karnadi Anemer Bangkong", berdasarkan buku karya sastrawan Sunda, Joehana.
Menurut H. Misbach Jusa Biran dalam bukunya Seja rah Film 1900-1950 Bikin Film di Jawa (terbitan Komunitas Bambu dan Dewan Kesenian Jakarta, 2009), buku Karnadi Anemer Bangkong merupakan buku yang cukup laris. Tetapi ketika dibuat film, banyak yang protes, sebab dalam film tersebut ada adegan orang pribumi (Karnadi) makan bangkong (kodok) karena dagangannya tidak laku. Adegan tersebut dianggap mempermalukan orang Sunda.

Buku karya Joehana lainnya yang dibuat .film "Eulis Atjih", merupakan sebuah dra-ina rumah tangga. Film tersebut diputar di gandung bulan Agustus 1927. Sementara di Surabaya, film tersebut diputar di bioskop
Orient dari tanggal 8 hinggai2 September 1927. Koran Pewarta Soerabaja memberikan resensi yang baik, bahkan melaporkan bahwa selama pertunjukan film tersebut selalu dibanjiri penonton. Bahkan film "Eulis Atjih" sempat diputar di Singapura.
Menurut Ensiklopedi Sunda karya Ajip Rosidi dkk. (terbitan Pustaka Jaya), roman karangan Joehana tersebut terdiri atas tiga jilid, jumlah halamannya masing-masing 50-60 halaman. Yang ada sekarang hanya jihd dua, itu pun di Universitas Leidein, Belanda.
Kisah "Eulis Arjih" dibuat kembali tahun 1954 oleh Ardjuna Film milik Tan Wong, disutradarai Rd. Arifin. Pemainnya S. Bono sebagai Ar-sad, dan Sri Uniati sebagai Eulis Arjih. Dalam film tersebut, nama pengarangnya dicantumkan.

Yang menarik, dalam laju perjalanan produksi film Indonesia, cukup banyak film Indonesia yang mengambu setting atau cerita dari Tatar Sunda, kecuali "Loetoeng Kasaroeng", ada lagi film "Bunga Ros dari Cikembang" (1930), "Rampok Preanger", Tjiandjoer" (1938), "Tjiung Wanara" (1941), "Air Mata Mengalir di Tji-tanun", dll. Bahkan dalam film "Tjiandjoer garapan The Teng Chun, begitu kental menampilkan warna kasundaan, dengan menampilkan lagu-lagu Sunda.

Tahun 1976, PT Diah Pitaloka Film menggarap film "Si Kabayan" yang dibintangi Kang Ibing dan Lenny Marlina, disutradarai Bay Isbahi. Tahun 1989, PT Kharis ma Jabar Film melakukan kerjasama dengan Pemerintah Provinsi Jabar, menggarap film "Si Kabayan Saba Kota", "Si
Kabayan dan Gadis Kota", "Si Kabayan dan Anak Jin", serta "Si Kabayan Saba Metropolitan". Ketika Yogie S. Memet diganti oleh Gubernur baru H.R. Nuriana, produksi kerja samamasih berlanjut dengan menggarap film "Si Kabayan Mencari Jodoh". Semua film Si Kabayan tersebut disutradarai H. Maman Firmansyah, kecuali film "Si Kabayan dan Anak Jin", disutradarai oleh Henky So-laiman. Semua skenarionya ditulis oleh Eddy D. Iskandar.

Film "Si Kabayan Saba Kota" mencapai sukses luar biasa, bahkan boleh disebut sebagai satu-satunya film daerah yang sukses secara nasional. Kemudian mendapatkan penghargaan sebagai Film Komedi Terbaik FFI 89. Film produksi PT Kharisma Jabar lainnya, "Glen Kemon Mudik". Patut dicatat pula film tentang kepahlawanan dari Tatar Sunda, seperti Toha Pahlawan Bandung Selatan" (1961), "Anak Anak Revolusi", "Mereka Kembali", "Perawan di Sektor Selatan", "Bandung Lautan Api", "Lebak Membara". Bahkan film pertama NV Perfini milik Pelopor Film Indonesia Usmar Ismail -yang tanggal pembuatannya (30 Maret -1950) dijadikan Hari Film Nasional, berjudul "Darah dan Doa", mengisahkan hijrahnya Pasukan Siliwangi dari Jogjakarta ke Jawa Barat.

Film klasik produksi tahun 1934 -yang banyak mendapatkan pujian para pengamat film, "Pareh" (Padi), yang dibintangi pasangan pemain Sunda Rd. Mochtar dan R. Soekarsih, juga mengambil setting alam Sunda dengan seni budayanya. Bahkan ada yang beranggapan, film tersebut lebih condong film dokumenter drama.
Nuansa Sunda juga lekat dalam film yang dibintangi oleh sinden terkenal. Sinden beken asal jalan Cagak, Subang, Titim Fatimah, bersama sinden terkenal lainnya Mi-mi Mariani muncul dalam film "Si Kembar" (1961) produksi Gema Masa Film.

Sinden termashur lainnya Upit Sari-manah tampil dalam film "Kasih Tak Sam-pai" produksi PT Sarinande Film, yang disutradarai Turino Junaedy. Tentu harus disebut pula nama Tati Saleh, seorang pe-nembang serba bisa, yang juga menonjol jika melantunkan lagu-lagu sinden. Tari Saleh, pernah tampil dalam sejumlah film Indonesia, antara lain "Nyi Ronggeng" (Alam Rengga Surawijaya), "Gadis Marathon" (Chaerul Umam), dan "Si Kabayan Saba Kota" (H.Maman Firmansyah). Sementara dalang yang kaya dengan kreasi, Asep Sunandar Sunarya, juga sempat muncul sebagai dukun dalam film "Si Kabayan dan Gadis Kota".
Apabila menyimak kembali lembaran sejarah film Indonesia, maka film "Karnadi Anemer Bangkong" dan "Eulis Atjih" (1927) - keduanya masih merupakan film bisu, merupakan buku cerita (Sunda) yang pertamakali dibuat film. Selanjutnya ada beberapa karya sastra Sunda lainnya yang dibuat film, seperti "Sanggeus Halimun Peu-ray" karya Aam Amilia, "Boss Carmad" karya Candrahayat, "Sri Panggung Doger Karawang" (judulnya diganti jadi "Arak Arakan") kaiya Iskandarwassid, dan "Si Kabayan Saba Kota" karya Min Resmana Bahkan film tempo dulu, yang umumnya digarap oleh keturunan Belanda dan Tionghoa, kebanyakan menggunakan latar-be-lakang kehidupan orang Sunda. Seperti dalam film "Bunga Ros dari Cikembang" (1930) produksi The Bersaudara, menceritakan juragan turunan Tionghoa yang kawin dengan wanita Sunda. Dalam bukunya, memang ada dialog bahasa Sunda, juga lirik lagu Sunda.

Eddy D. Iskandar
http://bataviase.co.id/node/500423  Share