Selasa, 22 Maret 2011

Mengapa Makanan dan Minuman di Bioskop Dijual Lebih Mahal? (Edisi Revisi)



 *

Ini sebuah kejadian yang saya saksikan sendiri di sebuah bioskop besar di pusat perbelanjaan mewah dekat Hotel Indonesia, Jakarta, pada suatu siang tahun 2008 lalu. Satpam bioskop menegur seorang ibu yang tengah minum air teh di botol kemasan, di lobi bioskop.
“Maaf, Bu. Nggak boleh bawa minuman dari luar.”
Si ibu kontan tak senang ketenangannya digubris. “Ini minuman saya beli di sini, mau lihat struknya? Saya masih simpan!”
Sang satpam menunduk, salah tingkah, mengucap maaf, lalu pergi.
Ada kejadian lain lagi. Istri saya berkisah, saat menonton Transformers: Revenge of the Fallen (2009) tempo hari di sebuah bioskop di Tangerang, mendadak semerbak bau mie goreng memenuhi ruangan bioskop. Rupanya seorang ibu mengambil 3 bungkus mie goreng dari dalam tasnya begitu lampu dimatikan. Ia membagi mie pada anak-anaknya yang diajak nonton hari itu.

Apa yang hendak dikatakan dari dua kisah di atas?
Ternyata, urusan makan dan minum di bioskop meninggalkan persoalan pelik.
Sudah jadi bagian kerja dari satpam bioskop memeriksa makanan dan minuman yang dibawa pengunjung ke bioskop. Selain memeriksa apa pengunjung membawa bom untuk meledakkan bioskop atau tidak, mereka juga melarang pengunjung membawa makanan dan minuman dari luar. Di sini, makanan dan minuman dari luar sama berbahayanya dengan bom. (Sebagian bioskop menyediakan semacam loker untuk menyimpan “benda asing” yang dibawa pengunjung dari luar, tapi hal ini tidak melemahkan klaim bahwa tugas satpam tidak hanya menjaga kemanan bioskop dari teroris, tapi juga dari pengunjung bioskop sendiri.)
Mengapa bioskop harus mengawasi pengunjungnya sendiri layaknya teroris yang sewaktu-waktu bisa meledakkan bioskop? Well, pengunjung macam seorang ibu yang membawa tiga bungkus mie goreng bisa dikategorikan membahayakan. Bukan pada keamanan gedung bioskop, melainkan pada bisnis sampingan bioskop: menjual makanan dan minuman. Seorang ibu bisa meloloskan tiga bungkus mie ke dalam ruang gelap bioskop adalah sebuah kegagalan dari kerja satpam di situ.

Untuk sampai pada bagaimana kerja satpam bioskop adalah juga melarang membawa makanan dan minuman dari luar, harus melihat bagaimana budaya makan dan minum di bioskop muncul pertama kalinya.
Pada awalnya, bioskop tak diniatkan menjual penganan teman nonton. Bioskop pertama di negeri ini, saat masih bernama Hindia Belanda, tak punya tempat yang tetap alias bioskop keliling. Biasanya sebuah alun-alun atau lapangan dipinjam sebagai tempat memutar film. Di penghujung abad ke-19, Seorang Belanda bermana Talbot membangun bioskop berupa bangsal berdinding gedek dan beratap seng di Lapangan Gambir (kini Monas). Setelah selesai di Lapangan Gambir, bioskop dibongkar dan lalu dibawa ke kota lain. Tradisi bioskop keliling ini melanjutkan tradisi tontonan opera Stamboel yang pentas dari kota ke kota.

Kemudian, bioskop punya tempat permanen. Sebuah rumah di Tanah Abang Kebondjae dijadikan bioskop pertama di negeri ini saat memutar film pertama kali di bulan Desember 1900 oleh seorang Belanda bernama Scharwz. Filmnya dokumenter, atau tepatnya film dokumentasi perjalanan Pangeran Hertog ke kota Den Haag. Saat itu bioskop tersebut belum menjual penganan teman menonton.

Selepas usaha bioskop Tuan Talbot dan Scharwz, jumlah bioskop bertambah di Batavia, ibukota Hindia Belanda yang kelak bernama Jakarta. Sebelum era film suara, di tahun 1920-an, bioskop-bioskop terdapat di Pancoran, Glodok (Gloria Bioscoop dan Cinema Orion), Krekot (Cinema Palace), Pasar Baru (Globe Bioscoop), Gambir (Deca Park), dan Cikini (Dierentuin).

Di tahun dua puluhan bioskop hanya berfungsi memutar film. Aspek bisnis lain belum terpikir oleh sang empunya saat itu. Namun, bioskop sebagai pusat keramaian dimanfaatkan penjaja makanan dan minuman. Seperti diceritakan Tanu Trh, seorang tokoh pers Tionghoa yang pernah jadi orang film di jaman sebelum perang dunia II, keadaan sekitar bioskop selalu ramai. Kios-kios dengan penerangan listrik seadanya dan penjaja makanan dan minuman keliling dengan lampu tempel atau pelita, membuat pemandangan lebih semarak.[1] Penganan favorit teman menonton masa itu adalah pala manis, kacang Arab, dan kwaci. Penjaja makanan dan minuman—yang tak punya kaitan bisnis dengan pemilik bioskop—diberi kebebasan berjualan. Bahkan sampai dibolehkan masuk ke dalam bioskop. Sebelum film diputar, mereka berkeling berteriak menjajakan dagangan.[2] Bisa dibayangkan betapa riuhnya bioskop saat itu.

                                                                           
                                                                            **



Sisi komersil lain bioskop sebagai tempat film diputar kita impor dari negeri lain, Amerika Serikat. Di sana, sudah jamak bioskop menjual penganan teman menonton. Kita kemudian tak hanya mengimpor tradisi dagang itu semata. Tapi sampai pada jenis penganan yang dijajakan. Pala manis, kwaci, dan kacang Arab diganti berondong jagung alias pop corn. Minuman limun diganti minuman bersoda alias coke.

Tidak jelas kapan tradisi itu dimulai. Yang pasti, saat sebelum Kelompok 21 melebarkan sayap membuat bioskop multi layar (cinema complex, cineplex) di penghujung 1980-an, tradisi itu sudah terjadi. Tapi waktu itu, kebanyakan bioskop merupakan gedung tersendiri. Orang datang ke bioskop untuk menonton film. Pemilik bioskop “berbaik hati” membuka kios penganan teman menonton.         

Sejak 1990-an Kelompok 21 merajai jaringan bioskop tanah air. Salah satu strategi mereka membuka bioskop di pusat perbelanjaan, entah mall atau plaza yang mulai menjamur di tahun-tahun itu. Mall atau plaza adalah tempat kumpul kaum urban. Selain tempat belanja, mall dan plaza juga menyediakan sarana hiburan berupa arena permainan anak-anak, restoran cepat saji maupun bioskop. Dengan begitu, mall dan plaza menggantikan tempat macam kebun binatang sebagai tempat rekreasi keluarga.
Masalahnya kemudian, saat bioskop berada di mall, bioskop justru menerapkan tarif lebih mahal pada penganan teman menonton. Perhatikan, pop corn ukuran kecil dijual Rp 10.000, yang ukuran besar Rp 23.000; cokelat SilverQueen dibanderol Rp 15.000 atau dua kali lipat dari harga di pasar swalayan; minuman orange juice dijual Rp 12.000 sementara di sebuah restoran cepat saji harganya Rp 5.000. Masih banyak deretan harga makanan lain yang dijual dengan harga selangit di bioskop.

Suatu kali saya menonton film Indonesia di sebuah bioskop besar. Sebagai apresiasi pada tontonan buatan negeri sendiri, pihak bioskop memberi bonus pop corn bagi penonton film Indonesia. Tapi mereka luput menghadiahi minuman untuk mendorong pop corn lebih lancar masuk ke pencernaan dan lidah tak seret. Saya pun memilih iced cappuccino. Setelah saya cermati harga minumannya Rp 20 ribu, lebih mahal dari harga tiket nonton yang Rp 15 ribu.
Ini menimbulkan tanya, mengapa harga makanan dan minuman di bioskop dijual lebih mahal dari tempat lain? Lalu, mengapa pula, bila dihitung-hitung harga pop corn ukuran besar (Rp 23 ribu) nyaris setara dengan tiket nonton di akhir  pekan (Rp 25 ribu), bahkan lebih mahal dari harga tiket nonton di hari biasa (weekdays) yang hanya Rp 10-15 ribu? 

Ini sebuah ironi. Orang datang ke bioskop tentu bukan untuk beli makan-minum, melainkan menonton film.  Saat harga layanan utama (tontonan) lebih murah ketimbang layanan tambahan (makan-minum), di mana logika bisnisnya? Bukankah itu akan memicu orang untuk membawa makanan-minumannya sendiri, seperti yang dilakukan ibu-ibu pembawa mie goreng di atas? (dan upaya pencegahan dengan menaruh standing banner larangan dan satpam toh tak berguna karena si ibu itu bisa mengelabui satpam)



***


Saya tak pernah menemukan laporan keuangan bisnis makanan-minuman di bioskop (seperti halnya saya tak pernah menemukan laporan bisnis penjualan tiket dari pihak bioskop—tapi itu soal lain lagi). Hingga diri ini hanya bisa menduga-duga saja kalau bisnis sampingan bioskop menjual penganan teman nonton tak mendatangkan profit signifikan pada  bioskop. Sebab, dari amatan saya, penonton film yang membeli makan-minum dari bioskop tak lebih dari 10 persen pada setiap pertunjukan.

Saya pun tak tahu bagaimana pihak bioskop memeroleh sumber makanan-minuman yang mereka jual. Apakah lantaran mereka mendapatkannya dari pihak yang menjual lebih mahal, hingga tak ada alasan lain memahalkan harga jualnya demi mencapai titik untung? Atau, mereka hanya ingin menjualnya lebih mahal saja meski didapat dari distributor yang sama dengan pasar swalayan?

Logika bisnis pengusaha adalah meraih untung sebanyak mungkin, dengan modal sesedikit mungkin. Akal sehat setiap orang pasti mengatakan, pihak bioskop tentulah mencari distributor barang paling murah untuk kemudian barangnya mereka jual dengan menambahi nilai pada harga jualnya demi profit. Artinya, andai niat baik itu ada. Harga makan-minum di bioskop mestinya bisa dijual lebih murah. Tapi, lagi-lagi, mengapa tetap dijual lebih mahal dari tempat lain?

Jawabnya bisa jadi pada tradisi yang sudah berlangsung bertahun-tahun di tempat wisata atau tempat piknik. Perhatikan, saat Anda masuk ke kebun binatang atau Dunia Fantasi, Anda akan menemukan kenyataan yang sama dengan bioskop: harga makan-minum di sana lebih mahal ketimbang yang dijual di luar kawasan wisata/piknik.

Sebuah studi psikologi dan ekonomi menunjukkan orang  mau membayar berbeda terhadap barang yang sama tergantung siapa yang menyediakannya. Ekonom Richard Thaler, dalam studinya mengenai “Beer on the Beach” (bir di pantai) pada 1985, menunjukkan bahwa sunbather (orang yang berjemur di pantai) yang haus mau membayar $2.65 untuk setiap bir yang disuguhkan resort atau hotel, namun mereka hanya mau membayar $1.50 untuk bir yang sama jika membeli di toko swalayan .[3]



****



Tampaknya, logika bisnis di tempat piknik diaplikasikan bulat-bulat oleh pengelola bioskop. Bioskop dianggap jadi pilihan satu-satunya penonton memeroleh makan-minum selama menonton. Karena, penonton tak mungkin meminta film dimatikan sesaat lalu membeli atau memesan makanan dari luar. Satu-satunya kesempatan adalah penonton harus menyiapkan makan-minumnya sendiri sebelum masuk teater. Dengan alasan itu, pengelola bioskop menganggap sah-sah saja menjual lebih mahal.   

Hanya saja, jika logika bisnis  di tempat wisata berhasil diterapkan (ya, walaupun Anda membawa seabrek rantang makanan, Anda masih tergoda untuk membeli Pop Mie panas, kan?), mengapa bioskop tidak?

Bioskop dan tempat piknik berbeda ciri meski sama-sama tempat rekreasi. Di tempat piknik, orang bisa menghabiskan waktu seharian. Makanan yang dibawa dari rumah tak pernah cukup hingga Anda perlu membeli apa yang ada dan dijual lebih mahal di sana. Masuk ke tempat piknik juga tak gratis. Keluar untuk beli makan-minum lebih murah tidak hanya tak efisien, tapi juga akan makan uang lebih banyak dari seharusnya. Karena saat Anda hendak masuk usai membeli makan-minum diluar, Anda diminta lagi karcis masuk.

Sedang di bioskop Anda gratis keluar-masuk—yang dipungut bayaran adalah saat masuk ke teater. Ke bioskop juga tak makan waktu lama. Satu petunjukan film hanya makan waktu 2-3 jam. Orang bisa memenuhi isi perutnya dulu di tempat lain—di restoran dekat bioskop di mall yang sama, misalnya—sebelum ke bioskop. Atau membawa makanan dari luar dengan mengakali satpam bioskop. Sejak bioskop merambah ke mal, sifat eksklusifitas bioskop selayaknya tempat wisata yang bebas menjual jajanan lebih mahal sirna.  

Alasan lain jajanan di bioskop dijual lebih mahal karena pengelola bioskop semata ingin dapat untung lebih. Menurut sebuah artikel di situs Wisegeek.com (pertanda kalau fenomena ini bukan khas Indonesia, tapi kita impor dari Amerika sana), mengandalkan dari jualan tiket saja sepertinya tidak cukup menutupi biaya operasional bioskop, termasuk membayar pekerjanya—manager, proyeksionis, sampai mbak-mbak cantik yang merobek karcis penonton.[4] Maka, dijual-lah penganan teman menonton. Harganya dijual lebih mahal karena memang ditujukan bagi orang yang bisa (mampu) membelinya saja. Mereka-mereka ini yang diharap bisa menutupi ongkos operasional bioskop dengan membayar makan-minum lebih mahal.

Orang-orang yang mampu dan mau membayar lebih juga dipaksa membayar lebih mahal bila datang ke bioskop berbeda. Bioskop di lokasi berbeda menjual makanan dan minuman yang sama dengan harga berbeda. Itu yang seorang kawan saya amati. Ia berujar, minuman Strawberry Smooties di Setiabudi 21, Kuningan dijual Rp.15 ribu, sementara di Plaza Indonesia XXI dijual Rp.25 ribu untuk ukuran yang sama. Penjelasan logisnya kira-kira, bisa jadi harga sewa tempat di Plaza Indonesia lebih mahal ketimbang Plaza Setiabudi tempat Setiabudi 21 berada. Pengelola bioskop mungkin juga memandang pengunjung Plaza Indonesia mampu membayar lebih mahal 10 ribu rupiah untuk barang yang sama.




***** 



Catatan: Tulisan berikut versi revisi dari postingan serupa yang sudah dihapus. Di versi revisi ini ada sejumlah penambahan data dan catatan kaki.


[1] Tanu Trh, “Nonton Bioskop di Jakarta Tempo Doeloe”, dalam Threes Susilawati (ed.) Batavia: Kisah Jakarta Tempo Doeloe (Jakarta: Intisari, 1988), hal. 175.
[2] Ibid, hal. 176.
[3] Lihat Steven D. Levitt & Stephen J. Dubner, Freakonomics: Ekonom “Nyeleneh”Membongkar Sisi Tersembunyi Segala Hal (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), hal. 51.  
[6] Data angka-angka yang dicantumkan diambil dari Ibid.
[7] Lihat “Yearly Box Office:2009 Domestic Grosses”, dalam Boxofficemojo.com, URL: http://boxofficemojo.com/yearly/chart/?yr=2009&p=.htm. Ditengok 2 Januari 2010.
[8] Lihat berita “Film Kiamat "2012" Laris Manis di Seluruh Dunia”, dalam TempoInteraktif (16/11/2009), URL:
[9] Lihat “Yearly Box Office:2009 Domestic Grosses”, op.cit..
[10] Lihat “All-Time Box Office: Non USA”, dalam IMDB.com, URL: http://www.imdb.com/boxoffice/alltimegross?region=non-us. Ditengok 2 Januari 2010.
[11] Lihat Raditya Dika, Kambing Jantan: Sebuah Catatan Pelajar Bodoh (Jakarta: Gagas Media, 2005), hal 16.
[12] Periksa http://www.21cineplex.com/theater.cfm?id=35. Ditengok 2 Januari 2010.

 Ade Irwansyah
Share