Senin, 21 Maret 2011

Bioskop dari masa ke masa

Perbicangan pasang-surut (fluktuasi) perbioskopan mengarahkan kita pada perjalanan sejarah bioskop itu sendiri. Bioskop yang telah hadir lebih dari 100 tahun di Indonesia mengalami sendiri apa yang disebut masa kejayaan (pasang) dan masa kemunduran (surut). Untuk mempermudah penjelasan sejarah dari bioskop, maka dari itu di sini saya menggunakan pemetaan yang dibuat oleh Haris Jauhari (1992) dalam bukunya Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia. Di situ dengan cerdas pembabakan sejarah bioskop dipetakan (dikategorisasi), antara lain sebagai berikut:
Pertama, periode 1900 hingga 1942 (fase layar membentang). Periode ini dimulai dari tahun 1903, saat itu bioskop lebih dikenal dengan istilah “gambar idoep” yang menayangkan berbagai film bisu (hal ini dikarenakan minimnya teknologi yang tersedia saat itu). Harga tiket pun hanya dapat dijangkau oleh kalangan menengah ke atas.
 Dari sisi industri, industri bioskop saat itu dapat dikatakan sangat fluktuatif karena dua alasan besar yaitu: teknologi yang masih minim dan berbagai gonjang-ganjing politik yang terjadi. Bioskop saat itu dianggap sebagai bisnis yang mahal dan ekslusif dan masih kurang populer ketimbang pertunjukan tradisional lain. Baru pada pertengahan dekade 1910-an bioskop lebih leluasa dalam bergerak setelah mendapatkan ijin formal dari pemerintahan Hindia-Belanda.
Perkembangan pesat bioskop -pasca mendapat ijin formal- membawa bioskop terdikotomi ke dalam dua kelas: kelas atas yang berisikan kaum Eropa dan golongan pamongpraja lokal yang borjuis dan kelas bawah yang berisikan rakyat jelata yang tentu sangat bohemian dan kumuh. Perkembangan tersebut juga tidak dapat dipisahkan dari perkembangan pesat teknologi perbioskopan dengan ditemukannya teknologi suara yang menjadikan bioskop hiburan yang sangat menarik.
Perkembangan tersebut ternyata tidak selamanya mulus. Karena pada tahun 1942 animo masyarakat terhadap bioskop merosot deras. Selain karena merosotnya produksi film nasional, faktor perang dunia ke-2 dan keamanan juga menjadi permasalahan pelik. Tidak mengherankan jika kemudian banyak bioskop yang bertumbangan, bahkan kemudian beralih fungsi menjadi sekedar gudang atau malah terbengkalai begitu saja.
Kedua, periode 1942 hingga 1949 (fase berjuang di garis belakang). Fase ini dimulai bersamaan dengan masuknya penjajah Jepang bumi nusantara. Yang cukup menjadi perhatian pada fase ini adalah keseimbangan komposisi film yang diputar di bioskop antara film barat dan non-barat (melayu, Indonesia dan Cina).
Namun, keadaan kondusif ini ternyata tidak bertahan lama karena makin lama kedok Jepang pun terbuka juga: menggunakan bioskop sebagai sarana propaganda pro-Jepang. Adanya tayangan-tayangan propaganda berbentuk slide, film cerita yang berbentuk dukungan untuk Jepang, diskon besar-besaran bagi warga pribumi untuk menonton di bioskop hingga alokasi waktu bioskop untuk anak-anak sekolah menjadi bagian tidak terpisahkan dari usaha keras Jepang untuk menegakkan propagandanya yang terkenal: Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Keadaan ini diperparah lagi dengan masih lesunya dunia produksi film lokal, hal yang tentu membuat senyum Jepang semakin mengembang.
Kondisi yang memprihatinkan seperti ini terus terjadi hingga Belanda kembali ke Indonesia pasca kekalahan Jepang pada perang dunia ke-2. Bahkan, sampai dengan masa pasca kemerdekaan pun hal yang sama masih terus terjadi: industri bioskop lesu. Baru pada tahun 1946-1948 bioskop kembali mulai bernafas, keadaan ini lebih disebabkan faktor pemerintah Indonesia yang mulai menggunakan bioskop untuk sarana mencari dana perjuangan. Hal tersebut yang melatar belakangi pelabelan fase bioskop kala itu sebagai fase berjuang dari garis belakang.
Ketiga, periode 1950 hingga 1962 (fase pulih kembali). Fase ini  dapat dikatakan dimulai pada tahun 1951, saat dimana diresmikannya bioskop termegah saat itu: Metropole. Konon bioskop ini menjadi simbol kebangkitan dunia perbioskopan saat itu. Karena dalam jangka waktu dua tahun kemudian (1953) tidak kurang dibangun sekitar 513 bioskop di seluruh Indonesia. Secara umum pembangunan tersebut didasarkan pada alasan primer: bisnis. Hal yang juga menandakan bahwa iklim industri bioskop cukup kondusif.
Dari tahun 1952 hingga 1960 bisa dikatakan merupakan masa keemasan bisnis bioskop di Indonesia dengan berdirinya sekitar 890 bioskop dengan jumlah penonton yang fantastis: 450 juta orang. Tak lama kemudian, terjadi surut sejenak pada tahun 1962 saat jumlah bioskop menurun ke angka 800. Menurunnya jumlah bioskop tersebut disebabkan oleh paling tidak dua permasalahan pokok, yaitu: mahalnya biaya administrasi bioskop dan juga menyusutnya produksi film nasional yang sangat drastis: dari 459 judul pada tahun 1952 menjadi 18 judul pada tahun 1959.
Keempat, periode 1962 hingga 1965 (fase hari-hari yang riuh). Pelabelan hari-hari yang riuh bukan tanpa alasan, karena saat itu aksi pengganyangan film yang diisukan sebagai agen imperialisme Amerika marak terjadi. Pengganyangan tersebut tidak sekedar wacana karena telah merembet pula kepada aksi-aksi anarkis semisal pencopotan reklame, pemboikotan gedung bioskop hingga pembakaran gedung bioskop.
Aksi ini merupakan buntut ketidakpuasan masyarakat atas pengaruh deras globalisasi Amerika yang sedang marak. Hal tersebut berakibat fatal bagi para pengusaha bioskop, karena bioskop yang sebelumnya berjumlah 700 buah pada tahun 1964 menyusut menjadi setengahnya (350 buah) pada tahun berikutnya. Di sisi lain, gejolak politik ini dapat juga dipahami karena pada saat itu pemerintahan Indonesia sedang dekat-dekatnya dengan haluan kiri (Pemerintahan Uni Soviet yang merupakan musuh utama pemerintahan imperialis Amerika).
Kelima, periode tahun 1965 hingga 1970 (masa-masa sulit). Lagi-lagi pelabelan ini bukan tanpa maksud, karena realita membuktikan masa-masa itu merupakan masa yang amat genting dalam dunia perpolitikan Indonesia. Pemberontakan G30S PKI pada periode ini menambah parah aksi-aksi anti-imperialis Amerika, dimana rantai distribusi film impor menjadi rusak sedang di satu sisi produksi film nasional masih terlelap. Keadaan ini menjadikan pengusaha bioskop serba salah dan berakibat fatal pada tumbangnya bioskop-bioskop karena kehabisan penonton (yang lumpuh ekonominya akibat krisis moneter).
Keadaan ini tidak dibiarkan begitu saja oleh pemerintah karena pada tahun 1967 pemerintahan yang sudah mulai pulih pasca gerakan pemberontakan mengadakan terobosan dengan mengimpor ratusan judul film untuk mengimbangi kondisi perfilman nasional yang masih saja “tiarap”. Keadaan ini memang sangat positif bagi industri bioskop, namun berakibat pula pada minimnya animo penonton untuk menonton film nasional. Baru kemudian pada tahun 1970 terjadi peningkatan secara signifikan pada produksi film nasional dan secara otomatis terjadi pengurangan (penyesuaian tepatnya) pada kuantitas film impor. 
Keenam, periode tahun 1970 hingga 1991 yang disebut dalam masa “gejolak teknologi canggih”. Pada masa ini, industri bioskop benar-benar diuji ketahanannya terutama dengan arus deras gelombang teknologi baru.  Mungkin tidak cukup gelombang teknologi canggih yang menguji, namun unsur persaingan ala kapitalis (perang modal) pun ikut andil dalam memperkeruh permasalahan intern pengusaha bioskop.
Permasalahan pertama yang terjadi adalah pembajakan yang merajalela. Pembajakan ini disinyalir terjadi berkat maraknya masyarakat yang memiliki video tape secara personal di rumah. Menikmati film di rumah pun menjadi tren tersendiri karena lebih santai dan tentunya irit, walaupun harus dengan membajak film. Tindakan seperti ini memang membuat para masyarakat menengah riang gembira, karena dengan budjet minim mereka dapat menikmati hiburan layaknya di bioskop, sebaliknya malah membuat para pengusaha bioskop “menangis” meratapi pemasukan yang makin menipis.
Di saat pembajakan belum mereda, pada dekade 1980-an para pengusaha bioskop kembali dihadapkan pada permasalah berikutnya: munculnya siaran televisi asing lewat parabola. Ancaman lainnya kemudian adalah hadirnya televisi swasta nasional: RCTI dan TPI. Kedua jenis televisi ini membawa satu permasalahan yang homogeny buat bioskop yaitu tayangan film gratis.
Keadaan tersebut ternyata tidak menyurutkan niat para pengusaha kelas kakap untuk berinvestasi dan berinovasi di industri ini. Di sinilah kejelian seorang Sudwikatmono dengan Subentra Group miliknya mengubah Plaza Theatre menjadi batu pertama dinasti sinepleks 21-nya. Dalam bisnis ini Pak Dwi (sapaan akrabnya) berhasil mengkopi keberhasilan industri bioskop di Amerika yang berhasil memenuhi berbagai kebutuhan penonton seperti: suasana yang eksotik, ruangan yang indah dan nyaman, keamanan yang terjamin dan kebebasan dalam memilih film yang mereka inginkan.
Kehadiran kelompok 21 milik Pak Dwi bukannya tanpa kritik keras. Karena banyak kalangan yang menganggap usaha kelompok 21 adalah bentuk monopoli usaha bioskop “kakap” yang menelan bioskop-bioskop “teri” untuk kalangan bawah.

Wabah sinepleks dari kelompok 21 secara kuantitatif mendorong perkembangan industri bioskop ke puncak keemasannya dengan lebih dari 2600 bioskop pada awal 1990-an. Walau, pada akhirnya jumlah tersebut terus menyusut dengan puncaknya pada tahun 1998 saat terjadi krisis politik dan krisis ekonomi akut yang juga dibarengi dengan krisis produksi film lokal.

Baru, pada awal dekade 2000-an industri bioskop sedikit bergeliat kembali (walaupun hanya perlahan-lahan mengingat kondisi ekonomi yang masih cukup berat). Hingga data terakhir pada medio 2004 lalu dinyatakan jumlah bioskop di seluruh Indonesia berjumlah sebanyak 272 bioskop dengan 720 layar.

Zufli Muhammad Ifani 
http://zulfigitu.multiply.com  Share