Minggu, 27 Maret 2011

Sejarah LCD Proyektor

LCD proyektor ditemukan di New York oleh Gene Dolgoff. Dia mulai bekerja di dalam kampus pada tahun 1968 dan bertujuan untuk memproduksi sebuah video proyektor yang dalam idenya akan membuat sebuah LCD yang lebih cerah dibandingkan dengan 3-CRT proyektor. Ide tersebut untuk menggunakan elemen yang disebut sebagai “cahaya katup” untuk mengatur jumlah cahaya yang melewati itu. Hal ini akan memungkinkan penggunaan yang sangat ampuh untuk sumber cahaya eksternal. Setelah mencoba berbagai bahan, dia menduduki kristal cair untuk mengatur terang pada tahun 1971. Ia membawanya sampai 1984 untuk mendapatkan addressable layar kristal cair (LCD), yang dibangun adalah ketika ia pertama di dunia LCD proyektor. Setelah pemeriksaannya itu, dia melihat banyak masalah yang harus dikoreksi termasuk kerugian besar. Dia kemudian menggunakan metode baru untuk menciptakan efisiensi yang tinggi untuk menghilangkan tampilan pada piksel. Ia mulai bekerja di Projectavision Inc pada tahun 1988, pertama kali dunia LCD proyektor didirikan.

Pada tahun 1989, dia bergabung sebagai anggota Nasional Asosiasi Produsen fotografi (NAPM) Standar Sub-komite, IT7-3, dia bersama dengan Leon Shapiro, co-Ansi di seluruh dunia mengembangkan standar pengukuran dari kecerahan, kontras samapai resolusi proyektor elektronik. Awalnya LCD yang digunakan dengan sistem ada pada overhead proyektor. Tapi, LCD sistem tidak memiliki sumber cahaya sendiri. Dengan susah payah dan beribu kegagalantanpa patah semangat akhirnya mereka bisa sukses dan populer sampai sekarang ini. Mereka memulainya dengan teknologi yang digunakan dalam beberapa ukuran dari belakang proyeksi konsol televisi, LCD ini menggunakan sistem proyeksi di televisi set besar adalah untuk memungkinkan kualitas gambar yang lebih baik sebagai sanggahan satu televisi 60 inci, walaupun saat ini sebagai saingan utama dari proyektor LCD adalah LG 100 inch LCD TV. Pada tahun 2004 dan 2005, LCD proyeksi telah kembali datang denga fitur yang lebih lengkap karena penambahan yang dinamis warna yang dianggap kontras yang telah meningkat hingga tingkat DLP.

Share

Rabu, 23 Maret 2011

Film Raga 11.11.11 Menyambut Sea Games 2011




Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga sedang mempersiapkan pembuatan film bertema olah raga sepak takraw. Judulnya, Raga 11.11.11.

Jika tak ada aral melintang, film tersebut dijadwalkan pemutaran perdananya di seluruh bioskop di Indonesia pada Oktober 2011 mendatang. Tepatnya, sebulan menjelang berlangsungnya pesta olah raga negara-negara Asia Tenggara, SEA Games, di Palembang dan Jakarta tahun ini. “Sebagai orang yang berasal dari Makassar dan juga bergelut di bidang olahraga, saya ikut bermain dalam film ini meskipun bukan sebagai pemeran utama,” ungkap Menpora, Andi Alifian Mallarangeng.

Menteri dengan ciri khas kumis tebal ini mengakui dirinya tampil di beberapa scene (adegan) saja. “Tampil sebagai cameo saja sesuai dengan tugas saya sebagai Menegpora,” kata Alifian seraya berharap film tersebut bakal meningkatkan minat masyarakat pada sepaktakraw.

Menurut Alifian, Raga 11.11.11 dipilih sebagai judul film itu karena angkanya seksi. Selain itu, angkanya juga bertepatan dengan waktu pembukaan Sea Games 2011.

Film tentang olah raga yang sudah dimainkan oleh raja-raja di Gowa, Sulawesi Selatan, sejak Abad 11 itu akan mulai syuting pada pekan pertama Mei. Sedangkan, pilihan lokasi syuting perdana ada dua, yakni Riau dan Makassar.

“Film ini sangat baik untuk mengenalkan budaya dan olahraga yang asli dari Indonesia, tetapi di Sea Games kita kalah oleh Malaysia dan Thailand. Kita mendapatkan perak dan perunggu, mereka bergantian perak dan emas,” ujar Menpora yang sangat bersemangat dalam mendukung berkembangnya sepaktakraw pada anak-anak usia sekolah dari SD sampai SMA.

Untuk mendukung sosialisasi yang lebih cepat dan tepat, menjelang PON 2012, setiap bulannya akan dibagikan seribu bola sepak-takraw, serta dibuatnya iklan layanan masyarakat ditayangkan di semua stasiun televisi Indonesia. ”Saya ingin olahraga asli Indonesia bisa memberi prestasi.

Nah, untuk menjaring minat maka kami melakukan sosialisi kepada anak-anak muda agar mau menggeluti olahraga sepaktakraw ini,”tutur Andi. Namun demikian Andi juga berharap para pengusaha bola agar melirik juga untuk memproduksi bola sepaktakraw yang terbuat dari rotan itu. Sepengetahuannya bola yang ada sekarang ini diimpor dari Malaysia. ”Jangan sampai ada yang mau memainkannya tetapi bolanya susah didapat,” ungkap Andi. Share

Wimbledon - Movie Trailer



Peter Colt (Paul Bettany), once a champion professional tennis player, finds himself low ranked and low spirited about his chances to win one last championship before retiring for good. That all changes when he meets Lizzie Bradbury (Kirsten Dunst), an up and coming star. Encourages by his new romance, Peter finds the strength to fulfill his lifelong dream. Directed by Richard Loncraine. With Kyle Hyde, Robert Lindsay, Sam Neill and Amanda Walker. Categories: Comedy, Drama, Romance, Sports. Year: 2004.

Share

Wimbledon Akan Masuk Bioskop



Turnamen tenis grand slam Inggris, Wimbledon, mulai tahun ini akan disiarkan secara langsung di bioskop di seluruh dunia.

Pertandingan yang akan disiarkan secara langsung di bioskop tersebut adalah pertandingan semifinal tunggal putra serta pertandingan final tunggal putra dan putri.

Hal ini diumumkan panitia turnamen Wimbledon yang bekerja sama dengan perusahaan elektronik Jepang, Sony.

Ketua Eksekutif All England Club Ian Ritchie mengatakan Wimbledon dikenal sebagai wariwan yang mahal di dunia tenis. "Namun, di saat bersamaan, kami harus menemukan inovasi agar tradisi ini dapat terus bertahan."

Share

Cinema Of Libya

Mohammad: Messenger of God




Lion Of The Dessert




Message - Al-risâlah




Share

Adegan Seks Berbalut Film Horor

Betulkah film Indonesia bangkit kembali? Jika menilik jumlah film Indonesia yang dibuat setiap tahun, angka-angkanya memang terlihat meningkat dengan cukup meyakinkan. Jika di tahun 2007 sekitar 53 film Indonesia diproduksi, di tahun 2008 angkanya sudah menjadi 87 film. Jumlah 100 film yang  diproduksi dalam waktu 1 tahun, bahkan sudah terlampaui di tahun 2009 lalu.

Secara kasat mata, coba saja lihat gedung-gedung bioskop di sekitar Anda. Setidaknya, dalam satu masa pemutaran, ada 1 film Indonesia. Sering kali dari (biasanya) 4 teater, 2 hingga 3 teater di antaranya  memutar film Indonesia.
Namun kalau dilihat lebih cermat, ada satu fenomena menarik. Film-film Indonesia yang diproduksi dan tentunya diputar di bioskop belakangan ini, sebagian di antaranya adalah film horor. Masalahkah itu?


Bumbu Seks dalam Film Horor Indonesia
Banyaknya film horor, seharusnya bukan masalah. Apalagi ternyata genre film yang muncul di Indonesia sejak tahun 1941 melalui Film Tengkorak Hidoep ini juga diminati banyak penikmat film tanah air. Sebut saja film Sundel Bolong yang menjadi Film Terlaris III di Jakarta di tahun 1981 setelah ditonton 301.280 orang. 

Di tahun 1982, film Nyi Blorong bahkan menjadi Film Terlaris I di Jakarta 1982, dengan jumlah penonton 354.790. Penonton sebanyak itu, mampu membuat Nyi Blorong menggondol Piala Antemas FFI (Festival Film Indonesia) untuk Film Terlaris 1982-1983.  Di tahun-tahun lain, film-film horor juga terus mampu meraup jumlah penonton yang besar. Kalaupun tidak menjadi yang terlaris, pendapatan dari pembeli tiket bioskop dapat memberikan keuntungan yang tidak sedikit. Lantas, di mana masalahnya?
Masalahnya adalah, bumbu adegan seks yang banyak ada di film-film horor Indonesia. Malahan di sebagian film horor, adegan seks tidak lagi menjadi sekedar bumbu. Adegan seks seakan menjadi bahan dasar dalam racikan film.

Adegan seks yang berbalut film horor seakan membenarkan kekhawatiran saya tentang berulangnya peta tema film Indonesia (baca: Adegan Berulang di Film Indonesia). Sama seperti di masa lalu, sebelum perfilman Indonesia mati suri, setelah era film komedi, layar perak diambil alih oleh film esek-esek.
 

Siasat Membalut Seks dengan Horor
Adalah kreativitas para sineas Indonesia untuk membalut seks dengan label film horor. Kreativitas yang makin lama, makin menjadi. Dari sedikit, adegan seks makin merajalela di film-film horor anak negeri. Melihat judul-judulnya saja, aroma seks sangat terasa. Sebutlah film Hantu Puncak Datang Bulan, Suster Keramas, Diperkosa Setan dan masih banyak lagi.


Belakangan, banyaknya adegan seks di film (horor) Indonesia membuat gerah banyak pihak. Kecaman dan ancaman dikeluarkan berbagai organisasi dalam berbagai bidang tapi para sineas tetap bergeming. Film-film sejenis tetap mengisi layar perak di tanah air, bahkan diekspor hingga ke negara tetangga serumpun.



Cara para pembuat film menyiasati kecaman dan ancaman juga makin kreatif. Tentu belum hilang dari ingatan kita, pro dan kontra diimpornya Miyabi, bintang film porno Jepang, untuk membintangi film Menculik Miyabi. Miyabi memang gagal datang tapi Rin Sakuragi, rekan seprofesi Miyabi di negeri Sakura, tiba-tiba menyengat dengan adegan-adegan berbau syahwat di film Suster Keramas.

Dewi Persik dalam film “Paku Kuntilanak”.


Tidak hanya artis impor, artis lokal juga tidak kurang berani. Tidak sekedar memperlihatkan paha dan dada, nama-nama seperti Andi Soraya, Julia Perez dan Dewi Persik mau beradegan berani dengan pameran bagian tubuh yang vital meski hanya beberapa detik. Jika begini kondisinya, di mana peran LSF?


Memotong Sedikit, Menyisakan Banyak
Sekian detik atau menit adegan berani yang lolos sensor seringkali menimbulkan pertanyaan, masihkah ada peran LSF? Pertanyaan ini rasanya sering muncul dalam diskusi dengan rekan-rekan media. Jawabannya, LSF (Lembaga Sensor Film) tentu akan bilang mereka sudah garang.
Mereka memang sebisa mungkin masih meloloskan film. Alasannya, jika banyak film tidak bisa tayang tentu banyak biaya terbuang. Produser bisa malas lagi membuat film dan industri film Indonesia bisa kembali tidur panjang.
Meski begitu, LSF menjamin gunting sensor tetap tajam. Tidak sedikit adegan panas yang masuk sampah terkena sensor. Misalnya, untuk film Hantu Puncak Datang Bulan. Film dengan suguhan Andi Soraya yang membuka bra serta akting panas Trio Macan ini menurut Muklis Paeni, Ketua LSF, sudah dipotong lebih dari 100 meter.

Adegan pembangkit syahwat
di film “Hantu Puncak Datang Bulan”.


Angka 100 meter film terkesan sangat banyak. Tapi sesungguhnya dalam hitungan waktu atau durasi, berapakah durasi dari 100 meter film? Dengan menggunakan standar 24 frame per detik untuk film bioskop yang biasanya berformat 35 mm maka dalam 100 meter ada 5249,2 frame (bisa dihitung sendiri menggunakan film calculator)  Jika tiap detik ada 24 frame, maka 5249,2 frame berdurasi 218,7 detik yang setara dengan sekitar 3,5 menit.
Durasi 3,5 menit tentu tidak lagi memperlihatkan angka yang besar. Apalagi harus diingat ada 1 resep jitu yang dipakai pembuat film: kasih adegan yang sangat vulgar sehingga adegan vulgar bisa tertutup dan akhirnya lolos sensor.



Nah jika sudah begini, tinggal penonton yang menentukan. Apakah mau terus dicekoki adegan seks dalam beragam variannya? Jika kembali mengaca pada sejarah termasuk sejarah perfilman Indonesia, saya percaya akan ada titik jenuh. Penonton akan bosan dan kembali menjauhi bioskop dengan film Indonesia. Kondisi ini pernah terjadi hanya sesaat sebelum dunia film Indonesia mati suri. Relakah kita perfilman Indonesia yang baru seumur jagung bangkit harus kembali tidur panjang…..???


Indriati Yulistiani
http://jagatalun.com 


Share

Selasa, 22 Maret 2011

Mop Papua : Sorong vs Merauke

Share

Mop Papua : Preman ( Epen Kah Cupen Toh vol. 1 )

Share

Original Soundtrack Film Aceh Leumak Mabok

Share

Film Aceh Leumak Mabok - Trailer (Preview)

Share

Legenda Kekuatan Film Komedi


Menggelitik tawa penonton, jauh lebih susah dibandingkan dengan membawanya menangis. Terbukti, di masa kebangkitan kedua perfilman nasional sejak tahun 2000, setelah film "Bernapas Dalam Lumpur" membukukan sejarah pembangkit industri perfilman tahun 1970, belum mampu menderaskan lagi kemasan wajah film komedi bernilai jempolan. Walau begitu, genre komedi tidak pernah tandus dari kesuburan peta produksi film.

Akan tetapi, itu kebanggaan semu! Karena, film berlakon drama komedi yang beredar sampai tutup tahun 2009, lebih cenderung hanya rebutan memburu kemenangan komersial semata. Tidak lagi bersaing meninggikan derajat filmis, dalam bangunan komedi. Film semacam itu bagai ekspresi sejumlah pedagang film, yang tergoda "mencuri" peluang sukses dari perhitungan kejenuhan pasar atas wabah tema horor, mistik, laga, dan drama percintaan.

Upaya menyodok kemungkinan potensi pasar itu, yang mengembangkan lagi pola dagang banyolan ringan, dengan penjualan judul berdaya konotatif! Apa mau dikata, jika bermunculan film berpredikat komedi di atas pertaruhan judul semacam, "Anda Puas, Saya Loyo", "Pijat Atas Tekan Bawah", hingga "Asoy Geboy". Seolah tak bisa pula ditawar-tawar lagi, sosok film komedi yang terkesan "ngeres" ini, mengentalkan pamer kemontokkan dada dan kemulusan paha pemainnya dalam busana minim.

Formula komedi seperti itu mengingatkan kembali cerita kejayaan Ariza], sutradara yang memasangkan sukses film banyolan slapstick berbintangkan Warkop DKI (Dono, Kasino, dan Indro). Sutradara H. Encep Masduki yang dikenal menguat di kancah sinetron pun, pernah mengemas judul menggoda penonton dengan "Kau di Atas Aku di Bawah" tayangan Indosiar (2002), yang mencoba menggosok lagi pamor empat bintang laris dekade 80-an, H. Rano Karno, Yessy Gusman, Lydia Kandou, dan Herman Felani. .
Namun, siasat itu belum mampu memutarkan baling-baling tema sinetron dari drama berkepanjangan yang membosankan. Tahun 2008, sang sutradara penghadir lakon "Cinta Fitri" itu terpanggil mewarnai film komedi bertajuk "SMS" ("Suka Ma Suka"). Hasil yang dicapai dari karya filmnya, memang tidak setajam kepopuleran lagu "SMS"! Apa pun kenyataannya, kehadiran Encep Masduki dalam perwajahan film komedi, menjanjikan penebaran warna yang dibutuhkan untuk menata martabat film
komedi.

Pasalnya, Encep punya keteguhan prinsip, "Saya paling enggak suka komedi sableng. Dagelan yang hanya asal bisa bikin penonton tertawa, tanpa ada muatan apa-apa," katanya dalam per-jumpaan di Bogor. Syukur, masih ada sutradara kekinian, yang mau peduli dengan takaran kualitas di balik genre komedi. Suatu kekuatan sikap kerja, yang berdaya cubit kritikan tajam untuk para penggarap lakon film komedi.
Itu juga harapan, yang acapkali menggelisahkan pemikiran kritis masyarakat penontonnya, ketika muncul sejumlah film komedi sekadar banyolan di antara pameran gambar vulgar. Memang, selepas sukses pasar film komedi Warkop DKI, perfilman nasional seolah tengah kembali berproses untuk menyusuri jejak kejayaan yang hilang. Ini dicerminkan dari kehadiran film-film komedi "Preman Kucing Garong", "Kawin Laris", Tarix Jabrix", "Tulalit", "Kawin Kontrak Lagi", "Setannya Kok Bener?", "Wakil Rakyat" maupun "Calo Presiden".

Kemiskinan kreasi Nasib perwajahan film komedi, sangat terkesan dibebani kejaran sukses komersial. Dibandingkan dengan jenis film lainnya, film bermerek komedi senantiasa dipersaingkan dengan nafsu bisnis produsernya, untuk memenangkan rebu-
tan pasar. Bisa dipahami, jika -terkem-bang mitos dalam bisnis film, yang memaknai tema komedi sebagai janji limpahan keuntungan. Suatu film komedi, minimal diyakini bisa cepat kembali modal.
Kalaupun begitu, perfilman nasional masih layak berharap banyak selepas film "Tri Mas Getir". Sedikitnya, lakon komedi garapan Rako Prijanto yang dijual di balik judul film itu, berharga "tampil beda". Tidak hanyut dengan formula judul asal menggoda tawa. Aktualitas penceri-taan pun diwarnai perguruan wushu. Mungkin, keberanian "Tri Mas Getir", terdukung dengan daya jual Tora Sudiro, Titi Kamal, Cut Mini, Indra Birowo, dan Vinsen.

Keberadaan "Tri Mas Getir", boleh jadi terhitung keberanian langka dalam tema komedi. Terbukti, keragaman tema dalam kebangkitan film nasional, yang terdukung kemajuan teknis modern bersama lejitan reputasi sederet sutradara andal generasi baru, masih saja dihadapkan pada tantangan kelahiran para pembuat film komedi berkelas jempolan. Ini berkait dengan jerat keterbatasan, dalam pengadaan materi cerita dan skenario, yang sejak lama berkembang sebagai permasalahan klasik.
Terlebih, karena sutradara film komedi berkelas jempolan, masih hanya bertumpu pada suatu nama, alm. Nyak Abbas Akup. Legenda sukses filmnya terbingkai sejak kejayaan Perfini, dengan film-film seperti "Heboh", "Djuara 60". Tiga Buronan", "Mat Codet", "Mat Do-wer",hingga berlanjut dalam kejutan pasar film komedi "Ambisi", "Bing Slamet Koboy Cengeng" sampai ketajaman sukses Doris Callebaut dari film "In-em Pelayan Sexy"(i977).

Kisah sukses komedi gaya Nyak Abbas Akup, yang diwarnai film "Kipas-Kipas Cari Angin", "Cintaku di Rumah Susun" hingga "Boneka dari Indiana" itu, sampai kini mengkristal dalam tanya dan penantian panjang. Film komedi tak harus selalu menjual banyolan enteng. Tidak mesti identik dengan adegan pamer paha dan dada wanita. Banyak karya Nyak Abbas Akup yang layak jadi cermin bening untuk menata kembali perwajahan film komedi.
Di balik reputasi alm. Nyak Abbas Akup, sebut pula nama alm. Drs. H. Asrul Sani, yang memiliki kekuatan lain di bidang penulisan cerita dan skenario film komedi. Dari bangunan karyanya, berbuah sukses film seperti "Kejarlah Daku Kau Kutangkap" garapan Chaerul Umam, atau "Naga Bonar" karya M.T. Risyaf (1987). Bahkan sepeninggal Asrul Sani, sukses "Naga Bonar Jadi 2" karya H. Deddy Mizwar pun, belum menandingi kentalnya komedi terdahulu.

Namun, sukses pasar kedua film "Naga Bonar", masih mampu merebut penghargaan bergengsi, dengan pengakuan predikat "Film Terbaik" di Festival Film Indonesia (FFI) 1987 Jakarta dan FFI 2007 Riau. Dalam kelangkaan film komedi bermartabat tinggi, agaknya Deddy Mizwar pantas diperhitungkan untuk jadi penerus sutradara lakon komedi pujian, yang tercermin dengan kejutan sukses film komedi religi seperti "Kiamat Sudah Dekat". Film yang dikemas ulang ke dalam sinetron itu, bersambut dengan lakon "Para Pencari Tuhan".
Sampai kini, terbukti sukses Deddy Mizwar tak mampu menyuburkan tema komedi pujian. Justru, perwajahan film komedi kembali tersekap ke dalam kemiskinan kreasi, yang dibebani target keunggulan bisnis. Ini dimaknai, bahwa martabat film komedi unggulan, hanya akan lahir dari keunggulan kolektif atas dukungan aspek filmisnya. Termasuk, niat baik dari pemilik modal. Sejarah lama bersaksi, film komedi satire "Intan Berduri" karya alm. Turino Junaedi, membuat kejutan fantastis di pentas FFI 1973 Jakarta.
Bamiiv,(..id itu penegasan tentang sosok film komedi, yang tidak sekadar menggelitik tawa penontonnya dengan banyolan konyol! Film "Intan Berduri" mampu mencuatkan pasangan Aktor/Aktris Terbaik, untuk alm. H. Benyamin S. dan Rima Melati. Celakanya, citra keaktoran Benyamin menerbitkan gunjingan sumbang, menyusul kesuksesannya sebagai bintang laris dalam film banyolan Betawi. Akan tetapi, empat tahun kemudian, film "Si Doel Anak Modern" dari alm. Drs. Syumanjaya, kembali menggosok pamor Benyamin sebagai "Aktor Terbaik" di FFI 1977 Jakarta.

Film komedi menghangatkan persaingan pasar film nasional dekade 70-an, saat kelompok lawak Kwartet Jaya (Bing Slamet, Ateng, Iskak, dan Eddy Soed) berjaya sejak film serial "Bing Slamet Setan Jalanan" (1972) karya ahn. Ch. Hasmanan. Sejumlah film komedi gaya alm. Nawi Ismail, lalu menajamkan daya saing pasar film, yang memperdagangkan serial Benyamin. Iklim industri film banyolan diwarnai lagi dengan serial Ateng, hingga berbayang sukses Warkop DKI.
Rebutan pasar film banyolan ringan makin membakar suhu produksi, yang terdorong ambisi memboyong Piala An-temas sebagai lambang film terlaris di FFI. Tetapi, sejak FFI 1985 Bandung, diberlakukan aturan kategori pemenang film terlaris, hanya dari film yang terjaring unggulan FFI. Itu ditempuh sebagai bentuk pembinaan, agar film pemburu Piala Antemas bukan lagi film berdaya komersial tanpa keunggulan aspek filmis. Selayaknya, tema komedi dalam iklim kebangkitan film nasional pun, bersaing menjejaki kejayaannya yang hilang ***

Yoyo Dasriyo
http://bataviase.co.id 
Share

SORE - Pergi Tanpa Pesan (Uncut Version)

Share

Lagu dalam Soundtrack Film Indonesia


Yang membekas di benak penonton adalah adegan yang dilatari komposisi lagu.Dengan tergesa-gesa Dwi dan Sri berlari meninggalkan rumah, meninggalkan Pak Lik, sang suami yang beristri empat, tanpa pesan sama sekali. Mereka sepakat meninggalkan keruwetan rumah tangga yang unik itu. Adegan film Berbagi Suami yang dibesut Nia di Nata ini dilatari lagu lawas karya Iskandar Pergi tanpa Pesan yang di-remake grup band Sore.


Adegan itu terasa kontekstual dengan soundtrack lagunya, meskipun berbeda era. Tak ada kesan pemaksaan. Dan secara keseluruhan soundtrack film itu memang tidak mengintimidasi, melainkan menjadi bagian yang sinergis dari film.

Idealnya sebuah soundtrack memang seperti itu. Antara adegan atau setting film dan music score bersimbiosis mutualisme. Tegasnya, harus kawin. Album Berbagi Suami (Aksara Records), yang mengetengahkan music score dan sederet lagu, bisa dianggap satu contoh yang bagus untuk soundtrack film Indonesia saat ini.

Sejak bangkitnya perfilman Indonesia pada 1997 lewat film Kuldesak, album soundtrack menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan film. Kini hampir semua film Indonesia memiliki album soundtrack. Tidak semuanya berhasil, baik dalam penjualan maupun kualitas. Ada yang gagal secara komersial, tapi istimewa dalam sisi musikal. Ada juga yang berkesan asal-asal, tapi laris manis di pasar.

Aquarius Musikindo tercatat sebagai perusahaan rekaman yang banyak merilis album soundtrack. Selain soundtrack Kuldesak, yang lain misalnya Ada Apa dengan Cinta?, Eiffel, I'm in Love, Tentang Dia, Apa Artinya Cinta, dan Dealova. Menurut Meidi Ferialdy dari Aquarius, dari semua album soundtrack yang dirilis, Ada Apa dengan Cinta? yang digarap pasangan Melly Goeslaw dan Anto Hoed terjual sekitar 700 ribu keping serta album Dealova terjual sekitar 250 ribu keping.

Dari Sony BMG Indonesia hadir Rumah Ke Tujuh, Tusuk Jelangkung, 30 Hari Mencari Cinta, Brownies, Gie, Cinta Silver, dan Vina Bilang Cinta. "Soundtrack produksi Sony BMG yang berhasil dalam penjualan adalah 30 Hari Mencari Cinta, sekitar 500 ribu keping," ungkap Jan N. Djuhana dari Sony BMG. Album soundtrack yang unggul secara musikal, seperti Gie, malah gagal dalam pemasaran. "Album Gie memang untuk masyarakat luas terasa berat," Jan menambahkan.

Pihak Miles Film malah merilis Gie dengan menampilkan music score yang digarap dalam bentuk chamber music oleh Thoersi Agreswara, penata musiknya. "Sebetulnya kami ingin juga menampilkan music score, tapi pihak major label tidak berkenan dengan alasan sulit dijual. Akhirnya kami memutuskan untuk merilis music score Gie walau tidak dalam jumlah banyak," kata Mira Lesmana, produser Gie.

Tak bisa dimungkiri, masyarakat kita memang belum terbiasa menyimak music score secara utuh seperti di mancanegara. "Kami menyadari hal itu, makanya dalam album soundtrack Berbagi Suami diambil solusi menampilkan lagu dan score," tutur Nia di Nata.

Addie M.S. bisa dianggap beruntung karena album soundtrack film Biola Tak Berdawai, yang disutradarai Sekar Ayu Asmara, dirilis oleh Warner Music Indonesia dengan 90 persen isinya music score yang dimainkan Victorian Philharmonic Orchestra Australia. Dan, seperti bisa ditebak, album Biola Tak Berdawai memang gagal dalam penjualan.

Kejadian seperti itu semakin menguatkan opini bahwa wujud sebuah lagu dalam album soundtrack masih memegang takhta dibanding music score. Bahwa yang membekas di benak penonton setelah menonton film adalah kelebat adegan yang dilatari komposisi lagu.

Dan itu telah berlangsung sejak dulu. Dalam film Menanti Kasih (1949), yang disutradarai Mohammad Said H.J. dengan pemeran utama A. Hamid Arief dan Nila Djuwita, penonton dipastikan lebih mengenang theme song-nya, Menanti Kasih, yang dinyanyikan Bing Slamet.

Tradisi film dengan menghadirkan sederet lagu sebagai soundtrack terlacak pada film Terang Boelan (Het Eilan der Droomen), yang dibintangi Roekiah dan Rd. Mochtar. Dalam buku Katalog Film Nasional yang disusun J.B. Kristanto tercatat bahwa film Pantjawarna (1941), yang dibintangi Dhalia dan Mochtar Widjaja, diiringi 12 lagu keroncong yang sedang hit. Film itu juga dianggap sebagai film musikal pertama di negeri ini. Film-film lain yang pantas dicatat adalah Asmara Dara (1958) dan Tiga Dara (1956), garapan sineas Usmar Ismail dan musiknya oleh Syaiful Bachrie.

Memasuki 1970-an mulai bermunculan album-album soundtrack yang didominasi oleh Idris Sardi, antara lain Dunia Belum Kiamat (1971) yang oleh Nyak Abbas Akup (sang sutradara) disebut sebagai operette pop, Pengantin Remaja (1971) yang theme song-nya dianggap mirip Love Story-nya Francis Lai, Cinta Pertama (1973) dengan penyanyi Anna Mathovani dan Broery Marantika, Cinta (1975) dengan penyanyi Marini dan Idris Sardi, dan masih sederet panjang lagi.

Idris Sardi memiliki kekuatan menggarap soundtrack bertema romansa dan drama. Dengan gesekan biolanya yang khas, dia pada akhirnya mencuatkan tipikal dalam penggarapan karya-karya lagunya yang cenderung mellow dan sarat harmoni minor, misalnya pada lagu Cinta Pertama, Satu-Satu, dan Musim Bercinta pada film Cinta Pertama, lagu Christina untuk film Christina (1977), atau lagu Karmila untuk film Karmila (1974).

Lalu ada juga album soundtrack yang digarap A. Riyanto, seperti Akhir Sebuah Impian (1973), yang menampilkan penyanyi Emillia Contessa, Broery Marantika, dan Benyamin S. Juga soundtrack Kasih Sayang (1974) dengan penyanyi Broery Marantika, Tanty Josepha, dan Titiek Sandhora, Romi dan Juli (1974) dengan penyanyi Tanty Josepha dan Rano Karno.

Pada 1980-an, soundtrack film-film remajalah yang bertakhta. Setidaknya album soundtrack sekuel film Catatan Si Boy menjadi hit dengan lagu-lagu seperti Theme Song Catatan Si Boy, yang dibawakan Ikang Fawzy, hingga Emosi Jiwa, yang dilantunkan Yana dan Lita. Juga soundtrack film Gita Cinta dari SMA dan Puspa Indah Taman Hati, yang menampilkan lagu-lagu karya Guruh Soekarno Putra yang dinyanyikan Chrisye.

Namun, album soundtrack yang tak lekang dimakan zaman adalah Badai Pasti Berlalu (1977) garapan Eros Djarot dan didukung penyanyi Chrisye dan Berlian Hutauruk. Album ini dianggap tonggak pencapaian estetika baru dalam musik pop Indonesia. Sejak dirilis pada 1978, album produksi PT Irama Mas ini terus dicetak ulang. Tak ada data yang akurat perihal penjualannya. Tapi tak berlebihan jika album yang pada 1999 direkonstruksi ulang dengan aransemen garapan Erwin Gutawa ini dianggap sebagai album soundtrack fenomenal hingga kini.

Denny Sakrie, pengamat musik

http://mellowtone.multiply.com 
Share

Album Jalur Suara



Album jalur suara atau album soundtrack (kadang disebut sebagai album lagu tema) merupakan jenis album yang memuat musik-musik yang menjadi pengiring sebuah film. Lagu-lagu dalam album soundtrack biasanya diambil dari jalur suara (trek suara) yang terdapat pada tepi rangkaian film bicara. Lagu atau musik yang dimuat bisa saja tidak terdapat pada trek suara film. Sebaliknya, tidak semua musik dalam film dimuat di album soundtrack. Lagu-lagu di album ini dapat berupa musik latar pada film atau dialog antar tokoh film.
Melly Goeslaw merupakan musisi Indonesia yang paling sering merilis album jalur suara. Rata-rata album jalur suara garapannya sukses di pasaran. Album soundtrack terlaris sepanjang sejarah musik Indonesia yaitu Alexandria milik Peterpan di tahun 2005 yang penjualannya mencapai 1 juta keping.[rujukan?] Album soundtrack lainnya yang juga sukses di Indonesia yaitu, OST Ada Apa Dengan Cinta, OST Ayat Ayat Cinta, OST Berbagi Suami, dan OST Mendadak Dangdut.[rujukan?]

Sejarah

Ambisi mengekploitasi musik dari film-film Metro-Goldwyn-Mayer (MGM) merupakan alasan didirikannya MGM Records pada tahun 1947.[1] Metro-Goldwyn-Mayer (MGM) merupakan studio besar di Hollywood yang menghasilkan film-film laris pada awal zaman film bersuara. Sebelumnya MGM sudah aktif dalam penerbitan musik, dan meraih keuntungan besar dari royalti lagu-lagu yang diambil dari film-film MGM.[1] Seringkali lagu-lagu film dipopulerkan oleh bintang-bintang MGM seperti Judy Garland, namun lagu-lagu tersebut diedarkan oleh perusahaan rekaman lain.[1]

MGM Records lahir di tengah zaman keemasan film musikal. Salah satu album soundtrack pertama dari MGM berisi lagu-lagu dari film Till the Clouds Roll By yang dirilis 1 Maret 1947.[2] Produser Jesse Kaye dari MGM West Coast yang memproduksi produser album tersebut mengatakan bahwa album soundtrack film Till the Clouds Roll By kemungkinan merupakan album rekaman "Original Sound Track" yang pertama dalam sejarah industri rekaman, walaupun waktu itu album rekaman berisi koleksi lagu-lagu dari film juga sudah dikenal orang.[1] Satu-satunya soundtrack dari film musikal yang pernah dirilis sebelumnya adalah album soundtrack film Snow White and the Seven Dwarfs (1937).[2].

Penyuntingan album soundtrack merupakan pekerjaan sulit pada awal zaman suara stereoponis. Dialog, musik, dansa tap, dan efek suara semuanya direkam di satu jalur suara.[1] Musik harus dipisahkan dan disusun ulang hingga pas dimasukkan ke dalam satu sisi piringan hitam 78 rpm.
Album soundtrack Julius Caesar dari MGM Records merupakan album soundtrack pertama yang memasukkan dialog dalam film. Secara kebetulan, album-album soundtrack terlaris dari MGM identik dengan film-film besar dan terlaris pada zamannya, misalnya Ben Hur, King of Kings, How the West Was Won, El Cid, dan Doctor Zhivago.[1]

Referensi

  1. ^ a b c d e f "Soundtracks Are Big Business". Billboard (21 Januari 1967): 32. http://books.google.com/books?id=JikEAAAAMBAJ&lpg=RA1-PA32&dq=%22soundtracks%20are%20big%20business%22&as_brr=3&hl=ja&pg=RA1-PA32#v=onepage&q=%22soundtracks%20are%20big%20business%22&f=false. Diakses pada 9 Juni 2010. 
  2. ^ a b [http://www.imdb.com/title/tt0039035/trivia "Trivia for Till the Clouds Roll By"]. imdb. http://www.imdb.com/title/tt0039035/trivia. Diakses pada 9 Juni 2010 

http://id.wikipedia.org 
Share

Festival Film Solo Dimeriahkan Puluhan Titik Layar Tancap

Festival Film Solo merupakan festival film tahunan yang diadakan di Kota Solo - Jawa Tengah, dengan fokus pada film fiksi-pendek Indonesia. Ketiadaan festival yang memfokuskan diri pada film-film pendek Indonesia menjadi landasan awal bagi festival ini untuk merespon terus-lahirnya karya dan kerja kreatif para pembuat film pendek di seluruh kota di Indonesia.

Festival film yang akan diselenggarakan pada tanggal 4-7 Mei 2011 di Gedung Kesenian Solo (GKS) ini terdapat beberapa program kompetisi maupun non-kompetisi, hal ini sebagai satu bentuk respon penyelenggara terhadap kondisi sosial masyarakat dan juga perkembangan dunia perfilman Indonesia itu sendiri. Harapannya, Festival Film Solo 2011 akan mampu menjadi sebuah festival yang sederhana namun bisa dekat dan akrab dengan publik, melalui tema-tema film yang secara maksimal bisa mengeksplorasi Indonesia, baik secara ruang maupun ideologis.

Program Kompetisi Film Fiksi-Pendek Indonesia Kategori Umum Nasional merupakan ruang bagi para pembuat film untuk mempertemukan karya-karya terbaik mereka, sebagai jurinya Seno Gumira Ajidarma, Joko Anwar, Swastika Nohara. Ladrang Award akan diberikan kepada pemenang kompetisi ini. Program Kompetisi Film Fiksi-Pendek Indonesia Kategori Pelajar SMA se-Jawa Tengah juga sebuah ruang untuk mempertemukan karya-karya terbaik pelajar se-Jawa Tengah, sebagai jurinya Ajish Dibyo, Veronica Kusumaryanti dan Arfan Adhi Permana. Pemenang kompetisi ini berhak mendapatkan Gayaman Award. Pengiriman karya untuk kompetisi ditrtima panitia penyelenggara pada tanggal 30 Maret 2011 (cap pos).

Program Tamasya Layar Tancap di 26 titik di wilayah Kota Solo menjadi salah satu usaha mendekatkan film dan festival ini dengan publik. Layar tancap yang akan memutar film-film fiksi-pendek Indonesia ini, digelar di kampung-kampung dan ruang publik di tengah kota. Program ini juga didukung oleh komunitas-komunitas film di kota lain, untuk menggelar layar tancap di kota masing-masing pada Bulan Mei, sehingga layak apabila nantinya kita menyebut Bulan Mei sebagai Bulan Layar Tancap.

Lewat Program Cerdas-Cermat Komunitas Film akan menjadi ajang bertemunya komunitas-komunitas film dari berbagai kota di Indonesia. Program ini lebih mengedepankan pertukaran data dan informasi komunitas-komunitas film yang ada. Pertanyaan-pertanyaan dalam cerdas-cermat akan diambil dari data yang dikirimkan oleh masing-masing komunitas. Pemenang berhak atas Piala Bergilir Festival Film Solo. Selain itu, program diskusi “Ruang Publik dan Kesenian di Solo” kiranya mampu pula untuk memacu kemajuan kesenian yang semakin kehilangan ruang. Diskusi ini menjadi semacam pemetaan awal terhadap kondisi dunia berkesenian di Solo.

Formulir kompetisi dan ketentuan-ketentuan untuk mengikuti Festival Film Solo dapat di download di
 www.festivalfilmsolo.com 
Share

Mengapa Makanan dan Minuman di Bioskop Dijual Lebih Mahal? (Edisi Revisi)



 *

Ini sebuah kejadian yang saya saksikan sendiri di sebuah bioskop besar di pusat perbelanjaan mewah dekat Hotel Indonesia, Jakarta, pada suatu siang tahun 2008 lalu. Satpam bioskop menegur seorang ibu yang tengah minum air teh di botol kemasan, di lobi bioskop.
“Maaf, Bu. Nggak boleh bawa minuman dari luar.”
Si ibu kontan tak senang ketenangannya digubris. “Ini minuman saya beli di sini, mau lihat struknya? Saya masih simpan!”
Sang satpam menunduk, salah tingkah, mengucap maaf, lalu pergi.
Ada kejadian lain lagi. Istri saya berkisah, saat menonton Transformers: Revenge of the Fallen (2009) tempo hari di sebuah bioskop di Tangerang, mendadak semerbak bau mie goreng memenuhi ruangan bioskop. Rupanya seorang ibu mengambil 3 bungkus mie goreng dari dalam tasnya begitu lampu dimatikan. Ia membagi mie pada anak-anaknya yang diajak nonton hari itu.

Apa yang hendak dikatakan dari dua kisah di atas?
Ternyata, urusan makan dan minum di bioskop meninggalkan persoalan pelik.
Sudah jadi bagian kerja dari satpam bioskop memeriksa makanan dan minuman yang dibawa pengunjung ke bioskop. Selain memeriksa apa pengunjung membawa bom untuk meledakkan bioskop atau tidak, mereka juga melarang pengunjung membawa makanan dan minuman dari luar. Di sini, makanan dan minuman dari luar sama berbahayanya dengan bom. (Sebagian bioskop menyediakan semacam loker untuk menyimpan “benda asing” yang dibawa pengunjung dari luar, tapi hal ini tidak melemahkan klaim bahwa tugas satpam tidak hanya menjaga kemanan bioskop dari teroris, tapi juga dari pengunjung bioskop sendiri.)
Mengapa bioskop harus mengawasi pengunjungnya sendiri layaknya teroris yang sewaktu-waktu bisa meledakkan bioskop? Well, pengunjung macam seorang ibu yang membawa tiga bungkus mie goreng bisa dikategorikan membahayakan. Bukan pada keamanan gedung bioskop, melainkan pada bisnis sampingan bioskop: menjual makanan dan minuman. Seorang ibu bisa meloloskan tiga bungkus mie ke dalam ruang gelap bioskop adalah sebuah kegagalan dari kerja satpam di situ.

Untuk sampai pada bagaimana kerja satpam bioskop adalah juga melarang membawa makanan dan minuman dari luar, harus melihat bagaimana budaya makan dan minum di bioskop muncul pertama kalinya.
Pada awalnya, bioskop tak diniatkan menjual penganan teman nonton. Bioskop pertama di negeri ini, saat masih bernama Hindia Belanda, tak punya tempat yang tetap alias bioskop keliling. Biasanya sebuah alun-alun atau lapangan dipinjam sebagai tempat memutar film. Di penghujung abad ke-19, Seorang Belanda bermana Talbot membangun bioskop berupa bangsal berdinding gedek dan beratap seng di Lapangan Gambir (kini Monas). Setelah selesai di Lapangan Gambir, bioskop dibongkar dan lalu dibawa ke kota lain. Tradisi bioskop keliling ini melanjutkan tradisi tontonan opera Stamboel yang pentas dari kota ke kota.

Kemudian, bioskop punya tempat permanen. Sebuah rumah di Tanah Abang Kebondjae dijadikan bioskop pertama di negeri ini saat memutar film pertama kali di bulan Desember 1900 oleh seorang Belanda bernama Scharwz. Filmnya dokumenter, atau tepatnya film dokumentasi perjalanan Pangeran Hertog ke kota Den Haag. Saat itu bioskop tersebut belum menjual penganan teman menonton.

Selepas usaha bioskop Tuan Talbot dan Scharwz, jumlah bioskop bertambah di Batavia, ibukota Hindia Belanda yang kelak bernama Jakarta. Sebelum era film suara, di tahun 1920-an, bioskop-bioskop terdapat di Pancoran, Glodok (Gloria Bioscoop dan Cinema Orion), Krekot (Cinema Palace), Pasar Baru (Globe Bioscoop), Gambir (Deca Park), dan Cikini (Dierentuin).

Di tahun dua puluhan bioskop hanya berfungsi memutar film. Aspek bisnis lain belum terpikir oleh sang empunya saat itu. Namun, bioskop sebagai pusat keramaian dimanfaatkan penjaja makanan dan minuman. Seperti diceritakan Tanu Trh, seorang tokoh pers Tionghoa yang pernah jadi orang film di jaman sebelum perang dunia II, keadaan sekitar bioskop selalu ramai. Kios-kios dengan penerangan listrik seadanya dan penjaja makanan dan minuman keliling dengan lampu tempel atau pelita, membuat pemandangan lebih semarak.[1] Penganan favorit teman menonton masa itu adalah pala manis, kacang Arab, dan kwaci. Penjaja makanan dan minuman—yang tak punya kaitan bisnis dengan pemilik bioskop—diberi kebebasan berjualan. Bahkan sampai dibolehkan masuk ke dalam bioskop. Sebelum film diputar, mereka berkeling berteriak menjajakan dagangan.[2] Bisa dibayangkan betapa riuhnya bioskop saat itu.

                                                                           
                                                                            **



Sisi komersil lain bioskop sebagai tempat film diputar kita impor dari negeri lain, Amerika Serikat. Di sana, sudah jamak bioskop menjual penganan teman menonton. Kita kemudian tak hanya mengimpor tradisi dagang itu semata. Tapi sampai pada jenis penganan yang dijajakan. Pala manis, kwaci, dan kacang Arab diganti berondong jagung alias pop corn. Minuman limun diganti minuman bersoda alias coke.

Tidak jelas kapan tradisi itu dimulai. Yang pasti, saat sebelum Kelompok 21 melebarkan sayap membuat bioskop multi layar (cinema complex, cineplex) di penghujung 1980-an, tradisi itu sudah terjadi. Tapi waktu itu, kebanyakan bioskop merupakan gedung tersendiri. Orang datang ke bioskop untuk menonton film. Pemilik bioskop “berbaik hati” membuka kios penganan teman menonton.         

Sejak 1990-an Kelompok 21 merajai jaringan bioskop tanah air. Salah satu strategi mereka membuka bioskop di pusat perbelanjaan, entah mall atau plaza yang mulai menjamur di tahun-tahun itu. Mall atau plaza adalah tempat kumpul kaum urban. Selain tempat belanja, mall dan plaza juga menyediakan sarana hiburan berupa arena permainan anak-anak, restoran cepat saji maupun bioskop. Dengan begitu, mall dan plaza menggantikan tempat macam kebun binatang sebagai tempat rekreasi keluarga.
Masalahnya kemudian, saat bioskop berada di mall, bioskop justru menerapkan tarif lebih mahal pada penganan teman menonton. Perhatikan, pop corn ukuran kecil dijual Rp 10.000, yang ukuran besar Rp 23.000; cokelat SilverQueen dibanderol Rp 15.000 atau dua kali lipat dari harga di pasar swalayan; minuman orange juice dijual Rp 12.000 sementara di sebuah restoran cepat saji harganya Rp 5.000. Masih banyak deretan harga makanan lain yang dijual dengan harga selangit di bioskop.

Suatu kali saya menonton film Indonesia di sebuah bioskop besar. Sebagai apresiasi pada tontonan buatan negeri sendiri, pihak bioskop memberi bonus pop corn bagi penonton film Indonesia. Tapi mereka luput menghadiahi minuman untuk mendorong pop corn lebih lancar masuk ke pencernaan dan lidah tak seret. Saya pun memilih iced cappuccino. Setelah saya cermati harga minumannya Rp 20 ribu, lebih mahal dari harga tiket nonton yang Rp 15 ribu.
Ini menimbulkan tanya, mengapa harga makanan dan minuman di bioskop dijual lebih mahal dari tempat lain? Lalu, mengapa pula, bila dihitung-hitung harga pop corn ukuran besar (Rp 23 ribu) nyaris setara dengan tiket nonton di akhir  pekan (Rp 25 ribu), bahkan lebih mahal dari harga tiket nonton di hari biasa (weekdays) yang hanya Rp 10-15 ribu? 

Ini sebuah ironi. Orang datang ke bioskop tentu bukan untuk beli makan-minum, melainkan menonton film.  Saat harga layanan utama (tontonan) lebih murah ketimbang layanan tambahan (makan-minum), di mana logika bisnisnya? Bukankah itu akan memicu orang untuk membawa makanan-minumannya sendiri, seperti yang dilakukan ibu-ibu pembawa mie goreng di atas? (dan upaya pencegahan dengan menaruh standing banner larangan dan satpam toh tak berguna karena si ibu itu bisa mengelabui satpam)



***


Saya tak pernah menemukan laporan keuangan bisnis makanan-minuman di bioskop (seperti halnya saya tak pernah menemukan laporan bisnis penjualan tiket dari pihak bioskop—tapi itu soal lain lagi). Hingga diri ini hanya bisa menduga-duga saja kalau bisnis sampingan bioskop menjual penganan teman nonton tak mendatangkan profit signifikan pada  bioskop. Sebab, dari amatan saya, penonton film yang membeli makan-minum dari bioskop tak lebih dari 10 persen pada setiap pertunjukan.

Saya pun tak tahu bagaimana pihak bioskop memeroleh sumber makanan-minuman yang mereka jual. Apakah lantaran mereka mendapatkannya dari pihak yang menjual lebih mahal, hingga tak ada alasan lain memahalkan harga jualnya demi mencapai titik untung? Atau, mereka hanya ingin menjualnya lebih mahal saja meski didapat dari distributor yang sama dengan pasar swalayan?

Logika bisnis pengusaha adalah meraih untung sebanyak mungkin, dengan modal sesedikit mungkin. Akal sehat setiap orang pasti mengatakan, pihak bioskop tentulah mencari distributor barang paling murah untuk kemudian barangnya mereka jual dengan menambahi nilai pada harga jualnya demi profit. Artinya, andai niat baik itu ada. Harga makan-minum di bioskop mestinya bisa dijual lebih murah. Tapi, lagi-lagi, mengapa tetap dijual lebih mahal dari tempat lain?

Jawabnya bisa jadi pada tradisi yang sudah berlangsung bertahun-tahun di tempat wisata atau tempat piknik. Perhatikan, saat Anda masuk ke kebun binatang atau Dunia Fantasi, Anda akan menemukan kenyataan yang sama dengan bioskop: harga makan-minum di sana lebih mahal ketimbang yang dijual di luar kawasan wisata/piknik.

Sebuah studi psikologi dan ekonomi menunjukkan orang  mau membayar berbeda terhadap barang yang sama tergantung siapa yang menyediakannya. Ekonom Richard Thaler, dalam studinya mengenai “Beer on the Beach” (bir di pantai) pada 1985, menunjukkan bahwa sunbather (orang yang berjemur di pantai) yang haus mau membayar $2.65 untuk setiap bir yang disuguhkan resort atau hotel, namun mereka hanya mau membayar $1.50 untuk bir yang sama jika membeli di toko swalayan .[3]



****



Tampaknya, logika bisnis di tempat piknik diaplikasikan bulat-bulat oleh pengelola bioskop. Bioskop dianggap jadi pilihan satu-satunya penonton memeroleh makan-minum selama menonton. Karena, penonton tak mungkin meminta film dimatikan sesaat lalu membeli atau memesan makanan dari luar. Satu-satunya kesempatan adalah penonton harus menyiapkan makan-minumnya sendiri sebelum masuk teater. Dengan alasan itu, pengelola bioskop menganggap sah-sah saja menjual lebih mahal.   

Hanya saja, jika logika bisnis  di tempat wisata berhasil diterapkan (ya, walaupun Anda membawa seabrek rantang makanan, Anda masih tergoda untuk membeli Pop Mie panas, kan?), mengapa bioskop tidak?

Bioskop dan tempat piknik berbeda ciri meski sama-sama tempat rekreasi. Di tempat piknik, orang bisa menghabiskan waktu seharian. Makanan yang dibawa dari rumah tak pernah cukup hingga Anda perlu membeli apa yang ada dan dijual lebih mahal di sana. Masuk ke tempat piknik juga tak gratis. Keluar untuk beli makan-minum lebih murah tidak hanya tak efisien, tapi juga akan makan uang lebih banyak dari seharusnya. Karena saat Anda hendak masuk usai membeli makan-minum diluar, Anda diminta lagi karcis masuk.

Sedang di bioskop Anda gratis keluar-masuk—yang dipungut bayaran adalah saat masuk ke teater. Ke bioskop juga tak makan waktu lama. Satu petunjukan film hanya makan waktu 2-3 jam. Orang bisa memenuhi isi perutnya dulu di tempat lain—di restoran dekat bioskop di mall yang sama, misalnya—sebelum ke bioskop. Atau membawa makanan dari luar dengan mengakali satpam bioskop. Sejak bioskop merambah ke mal, sifat eksklusifitas bioskop selayaknya tempat wisata yang bebas menjual jajanan lebih mahal sirna.  

Alasan lain jajanan di bioskop dijual lebih mahal karena pengelola bioskop semata ingin dapat untung lebih. Menurut sebuah artikel di situs Wisegeek.com (pertanda kalau fenomena ini bukan khas Indonesia, tapi kita impor dari Amerika sana), mengandalkan dari jualan tiket saja sepertinya tidak cukup menutupi biaya operasional bioskop, termasuk membayar pekerjanya—manager, proyeksionis, sampai mbak-mbak cantik yang merobek karcis penonton.[4] Maka, dijual-lah penganan teman menonton. Harganya dijual lebih mahal karena memang ditujukan bagi orang yang bisa (mampu) membelinya saja. Mereka-mereka ini yang diharap bisa menutupi ongkos operasional bioskop dengan membayar makan-minum lebih mahal.

Orang-orang yang mampu dan mau membayar lebih juga dipaksa membayar lebih mahal bila datang ke bioskop berbeda. Bioskop di lokasi berbeda menjual makanan dan minuman yang sama dengan harga berbeda. Itu yang seorang kawan saya amati. Ia berujar, minuman Strawberry Smooties di Setiabudi 21, Kuningan dijual Rp.15 ribu, sementara di Plaza Indonesia XXI dijual Rp.25 ribu untuk ukuran yang sama. Penjelasan logisnya kira-kira, bisa jadi harga sewa tempat di Plaza Indonesia lebih mahal ketimbang Plaza Setiabudi tempat Setiabudi 21 berada. Pengelola bioskop mungkin juga memandang pengunjung Plaza Indonesia mampu membayar lebih mahal 10 ribu rupiah untuk barang yang sama.




***** 



Catatan: Tulisan berikut versi revisi dari postingan serupa yang sudah dihapus. Di versi revisi ini ada sejumlah penambahan data dan catatan kaki.


[1] Tanu Trh, “Nonton Bioskop di Jakarta Tempo Doeloe”, dalam Threes Susilawati (ed.) Batavia: Kisah Jakarta Tempo Doeloe (Jakarta: Intisari, 1988), hal. 175.
[2] Ibid, hal. 176.
[3] Lihat Steven D. Levitt & Stephen J. Dubner, Freakonomics: Ekonom “Nyeleneh”Membongkar Sisi Tersembunyi Segala Hal (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), hal. 51.  
[6] Data angka-angka yang dicantumkan diambil dari Ibid.
[7] Lihat “Yearly Box Office:2009 Domestic Grosses”, dalam Boxofficemojo.com, URL: http://boxofficemojo.com/yearly/chart/?yr=2009&p=.htm. Ditengok 2 Januari 2010.
[8] Lihat berita “Film Kiamat "2012" Laris Manis di Seluruh Dunia”, dalam TempoInteraktif (16/11/2009), URL:
[9] Lihat “Yearly Box Office:2009 Domestic Grosses”, op.cit..
[10] Lihat “All-Time Box Office: Non USA”, dalam IMDB.com, URL: http://www.imdb.com/boxoffice/alltimegross?region=non-us. Ditengok 2 Januari 2010.
[11] Lihat Raditya Dika, Kambing Jantan: Sebuah Catatan Pelajar Bodoh (Jakarta: Gagas Media, 2005), hal 16.
[12] Periksa http://www.21cineplex.com/theater.cfm?id=35. Ditengok 2 Januari 2010.

 Ade Irwansyah
Share

Senin, 21 Maret 2011

Bangunan Eks. Bioskop Banteng Hebe adalah Benda Cagar Budaya

Bangunan Eks. Bioskop Banteng Hebe adalah Benda Cagar Budaya. “tanggapan atas Bangunan Cagar Budaya Pangkalpinang”

Membaca tulisan Drs. Akhmad Elvian, Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olah Raga, kota Pangkalpinang di beberapa harian media lokal di Provinsi Bangka Belitung (Babel) pada tanggal 27 Januari 2010, tidak lebih hanya sebagai kronologi mengapa Eks Bioskop Banteng Hebe dihancurkan dan seakan melegalkan tindakan yang dilakukan oleh korps-nya pemerintah kota Pangkalpinang. Sangat disayangkan dan memprihatinkan sekali, dimana seharusnya dinas kebudayaan kota Pangkalpinang memberikan pendidikan dan penyadaran publik tentang pentingnya pelestarian warisan budaya, menjaga, dan mempertahankan serta mendorong masyarakat untuk mengembangkan budaya bangsanya. Yang terjadi justru sebaliknya, yaitu ‘rela’ mempertaruhkan reputasi, jabatan atau barangkali juga latar belakang keilmuannya di ruang publik dengan melakukan penggiringan opini masyarakat dan pembenaran-pembenaran atas tindakan kejahatan kriminal yang dilakukan dengan merusak asset budaya bendawi tidak bergerak dari masyarakat Pangkalpinang atau yang biasa kita sebut Benda Cagar Budaya (BCB) sesuai terminologi Undang-Undang No. 5 tahun 1992 tentang BCB.

Tulisan kronologi tersebut boleh dikatakan sebagai sebuah penyesatan informasi kepada masyarakat, dan dapat dikategorikan sebagai kebohongan publik karena menyembunyikan beberapa fakta penting; pertama, tidak disampaikannya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang bangunan cagar budaya; kedua, surat penolakan pembongkaran bangunan eks. Bioskop Banteng dari Direktur Purbakala Depbudpar RI kepada Walikota Pangkalpinang yang ditembuskan kepada Gubernur Bangka Belitung.

Dalam UU No. 5 tahun 1992 pasal 1 ayat (1) dikatakan bahwa: Benda cagar budaya adalah: a). benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (limapuluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan; b). benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Sedangkan pada ayat (2) dikatakan bahwa Situs adalah lokasi yang mengandung atau diduga mengandung benda cagar budaya termasuk lingkungannya yang diperlukan bagi pengamanannya. Lebih lanjut, pada pasal 10, UU No. 5 tahun 1992 disampaikan juga prosedur pendaftaran BCB maupun Situs yang dapat dilakukan oleh siapapun termasuk individu ataupun komunitas masyarakat. Secara umum prosedurnya, pasal 10 ayat 1 dikatakan bahwa setiap orang yang menemukan atau mengetahui adanya BCB dan situs (termasuk benda yang diduga BCB), wajib untuk melaporkannya kepada pemerintah. Berdasarkan laporan tersebut, terhadap benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) segera dilakukan penelitian (pasal 10 ayat 2). Pada ayat (3) pasal 10 dikatakan bahwa: Sejak diterimanya laporan dan selama dilakukannya proses penelitian terhadap benda yang ditemukan diberikan perlindungan sebagai benda cagar budaya. Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Pemerintah menentukan benda tersebut sebagai BCB atau bukan BCB (pasal 10 ayat 4). Perlindungan sebagai BCB sebagaimana pasal 10 ayat (3) UU No. 5 tahun 1992, juga disebutkan lebih rinci pada pasal 14 Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1993 tentang Pelaksanaan UU No. 5 tahun 1992 yaitu ayat (1): Selama proses penelitian, benda dan/atau lokasi temuan dilindungi sebagaimana perlindungan benda cagar budaya, dan ayat (2): Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi pengamanan, perawatan, atau pemeliharaan agar tidak rusak, hilang, berubah bentuk dan wujud, nilai sejarah dan/atau keasliannya.
Bangunan eks. Bioskop Banteng Hebe di Pangkalpinang dibangun pada tahun 1914 – 1917 dengan menghabiskan lahan seluas 1.700 m2. Dari sisi usia, bangunan ini sudah berusia lebih dari 93 tahun.

Hal ini, jauh lebih tua melebihi syarat yang ditentukan menurut UU yaitu sudah lebih dari 50 tahun. Dalam konteks sejarah, bangunan eks. Bioskop Hebe merupakan bioskop pertama di Pangkalpinang, bahkan bangunan bioskop pertama di Indonesia yang masih tersisa. Hal ini menunjukkan bahwa bangunan bioskop ini merupakan bangunan langka di bidangnya dan menjadi barometer perfilman di tanah air. Jikalau dilihat pada arsip-arsip sejarah maupun dapat kita cari di mesin pencari google, perfilman sudah mulai diperkenalkan di Indonesia pada awal tahun 1900 yaitu di daerah Pasar Baroe – Jakarta, tetapi saat ini sudah tidak terlihat lagi bekas dan sisa-sisanya, karena pada waktu itu pemutaran film dilakukan di lapangan terbuka atau tidak menggunakan bangunan yang sifatnya permanen, biasa orang menyebutnya misbar (gerimis bubar) atau layar tancap. Dari tinggalan bangunan bioskop tersebut, seharusnya-lah bangunan ini menjadi kebanggaan masyarakat Pangkalpinang. Banyak hal yang dapat kita pelajari dari bangunan yang telah hancur tersebut. Diantaranya, kita dapat mempelajari tentang situasi sosial, politik, dan kebudayaan pada masa itu, termasuk bagaimana hubungan Pangkalpinang maupun negara Indonesia melalui Pulau Bangka Belitung ini terhadap bangsa lain seperti China, Belanda. Malaysia, Singapura ataupun yang lainnya. Menurut informasi, misalnya dikatakan bahwa pembangunan bioskop Banteng Hebe dilakukan atas bantuan Jenderal China Li Xie-he yang konon, tiba di Pulau Bangka dan membantu warga Tionghoa di perantauan.

Bahkan bangunan ini juga pernah digunakan sebagai gudang Borsumij (Borneo Sumatra Handel Maatschappij) tahun 1925. Pada era Presiden RI Soekarno, bangunan tersebut lebih dikenal dengan nama Bioskop Banteng. Banyak informasi dan fakta-fakta sejarah yang bisa didapatkan, digali, dan dikembangkan melalui bangunan yang ada serta dapat disaksikan oleh generasi-generasi berikutnya. Tentu informasi dan fakta-fakta yang ada sangat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan. Sebagai bioskop tertua, tentu hal ini dapat dimanfaatkan dan dikembangkan sebagai pusat budaya dan perfilman bagi masyarakat Pangkalpinang maupun masyarakat Indonesia untuk menggali kreativitas dan daya nalar masyarakat, bukan hanya melahirkan budayawan-budayawan konservatif yang ’membeo’ terhadap kepentingan pemerintah. Oleh karena itulah, Balai Pelestarian dan Peninggalan Purbakala (BP3) Jambi yang mempunyai kewenangan kerja sampai ke wilayah Sumatera Selatan dan Bangka Belitung melakukan kajian dan penelitian terhadap eks. Bangunan bioskop Hebe dimana hasilnya adalah bangunan tersebut memenuhi syarat sebagai Benda Cagar Budaya dan wajib dilindungi. Pemerintah kota sebenarnya sangat menyadari dan mengetahui informasi dari BP3 Jambi tersebut. Namun faktanya pada tanggal 20 Januari 2010, bangunan tersebut tetap dihancurkan oleh Satpol PP beserta dua alat berat berdasarkan instruksi langsung Walikota Pangkalpinang.













Ada beberapa indikasi pelanggaran yang sangat fatal atas pengrusakan bangunan eks. Bioskop Banteng Hebe Pangkalpinang, diantaranya;

Pertama, melanggar Undang-Undang No. 5 tahun 1992 dan PP No. 10 tahun 1993 dengan tindakan kejahatan pidana yaitu pengrusakan bangunan Benda Cagar Budaya eks. Bioskop Banteng Hebe dan diancam pidana 10 tahun penjara dan atau denda seratus juta rupiah (pasal 26) dan juga terindikasikan melanggar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait pengrusakan asset negara, tentu hal ini bisa mendapatkan sanksi hukum yang lebih berat.

Kedua, mengabaikan surat penolakan pendirian pusat perbelanjaan Bangka Trade Center (BTC) yang telah dikirimkan oleh Direktur Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI kepada Pemkot Pangkalpinang dengan surat nomor: UM.101/1886/DIT.PP/SP/XII/09 tertanggal 31 Desember 2009 perihal Permohonan Pembatalan Pembongkaran Bioskop Banteng dan surat nomor: UM.101/072/DIR.IV/SP/14.I/2010 tertanggal 14 Januari 2010 perihal Tanggapan Rencana Pembongkaran Bioskop Banteng. Keluarnya Tanggapan dari Direktur Purbakala Depbudpar RI didasarkan pada surat Walikota Pangkalpinang No.644/012/BUDPARPORA/2010 tanggal 11 Januari 2010 perihal rencana pembongkaran Bioskop Banteng. Inisiatif walikota mengeluarkan surat permohonan rencana pembongkaran Bioskop Banteng ini sebenarnya dilakukan sesuai dengan perintah peraturan perundang-undangan yaitu Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1993 tentang Pelaksanaan UU No. 5 tahun 1992 tentang BCB, pasal 44 yang menyatakan bahwa: Setiap rencana kegiatan pembangunan yang dapat mengakibatkan tercemar, pindah, rusak, berubah, musnah, atau hilangnya nilai sejarah benda cagar budaya serta tercemar dan berubahnya situs beserta lingkungannya, wajib dilaporkan terlebih dahulu kepada Menteri secara tertulis dan dilengkapi dengan hasil studi analisis mengenai dampak lingkungannya terutama berkaitan dengan hasil studi arkeologi. Artinya, Pemerintah Kota Pangkalpinang sebenarnya sangat memahami persoalan hukum dan prosedur-prosedur yang harus dipenuhi dalam mendirikan bangunan di areal yang terdapat BCB. Namun demikian, bangunan tetap saja diratakan dengan tanah pada tanggal 20 Januari 2010 meskipun sudah ditolak direktur Purbakala Depbudpar RI. Disini dapat dilihat bahwa pemerintah kota Pangkalpinang dengan sadar dan terencana telah melakukan perbuatan melawan hukum.


Ketiga, Melawan kebijakan Mendagri maupun Menbudpar RI melalui Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri RI No. 42/2009 dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI No. 40/2009 tentang Pedoman Pelestarian Kebudayaan dalam pasal (2) dikatakan bahwa: Kewajiban pemerintah daerah yaitu melaksanakan pelestarian kebudayaan di daerah yang dapat dilakukan melalui kegiatan perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan. Ada dua hal prinsip kenapa pemerintah perlu melestarikan kebudayaan bangsa menurut peraturan bersama dua menteri tersebut, diantaranya 1) ditujukan ke arah pemenuhan hak-hak asasi manusia, pemajuan peradaban, persatuan dan kesatuan, serta kesejahteraan bangsa Indonesia; 2) untuk memperkokoh jatidiri bangsa, martabat, dan menumbuhkan kebanggaan nasional serta mempererat persatuan dan kesatuan bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pesan ini sudah disampaikan ke Walikota Pangkalpinang melalui surat yang dikirimkan oleh Direktur Purbakala Depbudpar RI tertanggal 31 Desember 2009 dan 14 januari 2010. Dan pelanggaran yang keempat adalah Pemerintah Kota Pangkalpinang tidak dapat menunjukkan surat ijin dan bukti hasil kajian ataupun studi analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) serta hasil studi arkeologi dalam pembangunan BTC di areal situs yang dilindungi sebagai BCB. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan membongkar bangunan eks. Bioskop Banteng Hebe adalah tindakan yang tidak berdasar, baik secara akademis, filosofis, maupun legal formal (hukum). Yang menjadi pertanyaan adalah, kenapa Pemerintah Kota Pangkalpinang berbuat senekad itu? Ada apa di balik pembangunan Bangka Trade Center (BTC)?


Sangat memprihatinkan sekali disaat pemerintah selalu mengkampanyekan hukum sebagai panglima dan terus-menerus mengkampanyekan pemberantasan korupsi sampai ke akar-akarnya, serta mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih dan berorientasi melayani masyarakat, ternyata setelah 11 tahun reformasi, masih sebatas perkataan dan belum sampai pada tindakan. Tindakan masyarakat melalui perwakilan pedagang pasar Pangkalpinang dan sekitarnya untuk melaporkan keberadaan bangunan tua bioskop Banteng dan pasar tradisional agar dapat dilestarikan sesuai surat No. 008/P4S-PKP/VII/2008 kepada Menteri Perdagangan RI merupakan tindakan positif dan perlu ditiru oleh masyarakat lainnya. Apa yang dilakukan masyarakat tersebut seharusnya menjadi pelajaran bagi pemerintah kota Pangkalpinang, bahwa partisipasi masyarakat dalam pembangunan sangatlah dibutuhkan. Masyarakat bukanlah objek pembangunan sebagaimana hal ini pernah diwariskan rezim orde baru. Di era reformasi, masyarakat merupakan subjek dari pembangunan. Pembangunan yang dilakukan harus berorientasi pada kebutuhan masyarakat dan bukan atas kepentingan penguasa.

Membangun Bangka Trade Center (BTC) tidak terkait langsung dengan kesejahteraan dan kemandirian masyarakat, apalagi kalau dikatakan dapat mengurangi pengangguran. Pembangunan BTC sebenarnya, menyingkirkan masyarakat pasar tradisional yang sudah mempunyai pekerjaan disana. Seharusnya pemerintah, lebih memberdayakan mereka untuk lebih efektif lagi berwirausaha dan mengentaskan masalah pengangguran dengan cara memberikan ketrampilan dan modal. Dan bukan mencarikan mereka pekerjaan baru, karena hal itu justru akan menambah kemiskinan baru.


Bangunan atau benda cagar budaya sebagai warisan budaya bangsa seringkali menjadi korban atas nama pembangunan pusat perbelanjaan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Kiranya Hebe merupakan kasus pembantaian terakhir terhadap warisan budaya yang ada di Pangkalpinang. Tindakan hukum yang telah dan sedang dilakukan oleh masyarakat Pangkalpinang atas pengrusakan bangunan bioskop Banteng sebagai bioskop pertama di Pangkalpinang dengan melaporkan kepada Menbudpar RI, Kepolisian RI, dan pihak lain yang terkait, selayaknyalah didukung oleh masyarakat. Sehingga kasus-kasus HEBE lainnya tidak terulang kembali di masa yang akan datang, apalagi jikalau sampai merusak bangunan cagar budaya untuk pembuatan lahan parkir Bangka Trade Center. Menghapus sejarah pahit bukan dengan cara menghancurkan dan meniadakan bangunan yang ada. Meminjam perkataan tokoh besar bangsa, Gusdur, bahwa kita harus memaafkan masa lalu, tetapi tidak untuk melupakan. Menghancurkan kebudayaan warisan masa lalu sama halnya melupakan dan memutus mata rantai sejarah. Bangunan Belanda yang tersebar diseluruh penjuru tanah air, dimana negara tersebut pernah menjajah negeri ini selama tiga setengah abad tetap berdiri tegak, kokoh, dan terpelihara dengan baik. Bangunan peninggalan Belanda, banyak yang dijadikan sebagai kantor-kantor pemerintahan dari tingkat pusat sampai daerah. Sebut saja istana Kepresidenan dan kantor pejabat-pejabat negara di Jakarta. Apa jadinya jikalau seluruh bangunan dan dokumen Belanda di Indonesia dihancurkan?

Anak-cucu kita hanya akan mendengar cerita dongeng bahwa Belanda pernah mendiami Indonesia tetapi tidak pernah menyaksikan kebenaran cerita itu melalui tinggalan sejarah dan budaya yang ada. Apabila ada Bangunan Cagar Budaya yang kemudian lapuk termakan oleh usia, itu adalah hal yang wajar dan bukan dijadikan alasan untuk menghancurkannya. Oleh karena itulah dalam perspektif pelestarian warisan budaya, dikenal adanya upaya perlindungan dan pemeliharaan BCB, dimana hal itu menjadi tanggung jawab pemerintah, baik pusat maupun daerah, sehingga suatu benda, bangunan, atau situs cagar budaya dapat disaksikan oleh generasi kini maupun yang akan datang. Meskipun demikian masyarakat secara perorangan ataupun kelompok dapat pula berperan serta dalam upaya pelestarian warisan budaya. Tentu dibutuhkan pemimpin pemerintahan yang kreatif dan cerdas untuk mengelola warisan budaya bangsa.

Joe Marbun
http://joemarbun.wordpress.com 
Share